08 : Let's be a Friend [Revisi]

1.2K 103 32
                                    

Seharusnya jejak itu sudah hilang, karam bersama kenangan musim lalu, tapi terkadang melupakan memang sesulit itu.
Dear, Hujan

##

Istilah waktu berlalu begitu cepat itu memang benar adanya, Vanessa menjalani rutinitasnya sehari-hari. Sudah dua bulan berlalu dan hidupnya terasa berubah sedikit demi sedikit menjadi lebih baik. Namun, sejak saat di mana terakhir kali ia bertemu dengan Rifkhan, mimpi-mimpi itu terus menghantuinya.

Pemuda itu memang benar-benar Rifkhan, Rifkhan yang sehat, Rifkhan yang tersenyum lebar tanpa beban ke arahnya. Vanessa tak pernah berhenti mengingat hari itu, bagaimana mungkin Rifkhan hidup dengan damai semenjak kejadian yang terus menghantui Vanessa, laki-laki itu bahkan bersikap seolah tidak pernah terjadi apa-apa di antara mereka, seolah mereka hanya orang asing yang kebetulan saling mengenal. Vanessa terus dihantui rasa bersalah dan kebingungan. Rifkhan yang hari itu, berlalu begitu saja setelah berjanji akan menemuinya kapan-kapan. Vanessa tak pernah melihat laki-laki itu lagi setelah hari itu.

Gadis itu mulai terbiasa dengan halusinasi yang kerap menghampirinya setiap keheningan malam mulai menyapa, bayangan-bayangan itu muncul dan mengobrak-abrik mentalnya. Tapi hingga sejauh ini, Vanessa bertahan untuk tidak mengeluh dan membuat Harry serta Maurisa merasa cemas terhadapnya.

Malam ini Harry, Maurisa, dan Ken pergi menghadiri pesta ulang tahun sahabat Ken. Maurisa sudah berusaha keras membujuk Vanessa agar ikut dengan mereka, tapi Vanessa terus menolak dengan dalih tugas sekolahnya sedang menumpuk. Alhasil, ia sendirian di rumah.

Vanessa melirik jam yang menunjukan pukul sepuluh lewat, ia menghela napas berat menyesal karena tidak ikut, di luar sedang mendung dan mungkin sebentar lagi akan turun hujan, akhir-akhir ini angin selalu berembus kencang begitu pula malam ini.

Tugas fisika yang akan dikumpul dua hari lagi baru ia selesaikan tiga soal, gadis itu beranjak dari meja belajarnya karena merasa pikirannya mulai tidak fokus.

Vanessa melangkah menuju kamar mandi hendak mencuci muka. Begitu pintu kamar mandi terbuka, gadis itu membeku dengan napas tercekat. No again! Lagi lagi ia melihat seonggok mayat pria bersimbah darah tergolek di dalam bathup.

Vanessa mencoba memperingati dirinya agar tidak lemah, ia harus menang dari halusinasinya meski hanya sekali saja. Namun ia tetap saja kalah, napasnya mulai tersengal, tenggorokannya tercekat, ia merasa oksigen menipis dan tulang-tulangnya runtuh. Pergi dari sana adalah satu-satunya jalan, ia mencoba berlari meski sulit, tapi tiba-tiba ia kembali mendapati ranjang putih bersih miliknya dipenuhi noda darah, bebauan amis yang memuakkan mulai memenuhi indra penciumannya, hampir saja muntah melihat warna-warna merah kehitaman menggenang di atas ranjangnya.

Vanessa berlari ketakutan, hingga sampai di pintu utama, membukanya dengan kasar dan terburu-buru, ia berlari kencang keluar rumah dengan piyama abu-abu dan kaki telanjang, tidak peduli dengan luka-luka yang ia dapat perlahan akibat aspal jalanan yang kasar.

Jalanan kompleks sangat sepi, Vanessa hanya ingin berlari tanpa perlu tahu di mana kakinya akan berhenti. Karena kelelahan akhirnya ia memilih duduk di sebuah bangku, tepat di bawah pencahayaan lampu jalan yang temaram. Gadis itu mencoba menetralkan detak jantungnya dan mengatur kembali deru napasnya.

Semilir angin membelai surainya yang basah oleh keringat, wajahnya pucat pasi, bibirnya bergetar samar, perlahan ia mulai merasakan telapak kakinya perih dan panas, luka-luka goresan di sana mulai mengeluarkan darah segar tapi Vanessa tak peduli. Ia terus menggigil dan menangis ketakutan, mendekap dirinya sendiri sambil terus berteriak tegas dalam hati, aku bukan pembunuh! Aku bukan pembunuh! Aku bukan pembunuh!

Dear, Hujan [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang