16 : Should The Game End? [Revisi]

1K 80 15
                                    

Terkadang, rasa cinta terselip di antara ribuan kata benci.
Dear, Hujan

##

"Pulangnya jam berapa, Mom?" tanya Raffa sembari berdiri di ambang pintu, laki-laki itu mulai melipat lengan kaos birunya.

"Sekitaran tengah malam," jawab Lilianne yang sedang sibuk membenarkan riasannya sambil terus berjalan, ia akan menghadiri pertemuan para rekan bisnis di Bandung.

Beberapa menit berikutnya Raffa bungkam seraya mendengar wejangan singkat sang ibu, wanita itu segera berlalu setelah mengecup pipi Raffa sekilas. Pun Raffa kembali masuk dan segera mencari keberadaan Daffa.

"Daffa!" teriaknya di ujung tangga, tapi tak ada jawaban, "where are you, my bro?" pekiknya lagi. Ia menuju dapur sambil terus memanggil Daffa meski tetap tak mendapat respons.

Raffa melirik jam dinding di dapurnya, pukul setengah delapan, masih terlalu pagi untuk kembali tidur. Laki-laki itu mulai menggeledah lemari es guna mencari minuman soda. Sejenak setelah menemukannya, ia segera melangkah menuju lantai atas, tujuan destinasinya di pagi Minggu yang cerah ini adalah kamar Daffa.

Sembari berjalan Raffa mengacak-acak rambutnya, sesekali raut wajahnya terlihat penuh penyesalan, laki-laki itu tak pernah bisa melupakan tragedi sore lalu kala ia menjadi pahlawan kesiangan untuk Vanessa yang telah berhasil membuatnya malu setengah mati. Kesalahpahaman itu benar-benar menjadi malapetaka besar untuknya. Sial sekali! Raffa sungguh tak punya muka lagi untuk berhadapan dengan Vanessa.

Sesampainya di depan pintu kamar Daffa yang bertuliskan, GO AWAY! I DON'T WANNA BUILD A SNOWMAN!

Raffa selalu saja kesal saat membaca kalimat itu, ia merasa seolah Daffa sedang mengusirnya. Memangnya kapan Raffa mengajak Daffa membuat boneka salju! Terlebih, haruskah tulisan itu berisi huruf kapital seluruhnya?

Raffa tidak peduli, ia segera masuk tanpa mengetuk. Tak lupa nyanyian merdunya mengalun.

"Daffa? Do you wanna build a snowman? Come on, let's go and play! I never see you anymore. Come out the door. It's like you've gone away."

Daffa mengangkat tatapannya dengan raut datar. "Kebiasaan, Does tapping the door too difficult for you?"

"Of course, I don't have time for that," sahutnya sambil tersenyum polos, "Anyway, sejak kapan ada peraturan kaku kayak gitu." Raffa melempar dirinya ke atas ranjang Daffa. Terasa sudah lama sekali ia tak berkunjung ke ruangan yang hanya berjarak beberapa langkah dari kamarnya itu.

"Sejak lo yang jadi kayak orang utan, teriak mulu kerjaannya, kayak monyet."

"Yang bener yang mana nih? Orang utan apa monyet?" Raffa bertanya santai, tidak peduli dengan Daffa yang terlihat ingin sekali mengenyahkan Raffa dari ruangan itu.

"Whatever," desisnya. Daffa kembali fokus pada laptopnya, ia sedang mengedit foto-foto Vanessa, pekerjaan sampingan setelah fotografer. Itu adalah amanah Lilianne, wanita itu sadar bahwa Daffa juga mahir mengurus hal-hal semacam itu bahkan typografi, ia tak perlu bersusah payah menyewa orang lain, editan Daffa tak kalah hebat. Raffa yang melihat hal itu refleks menghela napas kasar.

"Kenapa lo?" tanya Daffa yang sama sekali tak mengalihkan fokus.

"Emang gue kenapa?" tanya Raffa balik. Daffa berdecak kesal, seharusnya ia tahu bahwa berbicara dengan Raffa hanya akan membuang detik-detik berharganya di dunia ini.

Dear, Hujan [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang