Bisakah kusebut ini awal dari kebahagian? Bukan pilihanku tuk melupakan kenangan. Namun, semestalah yang punya andil menakdirkan
Dear, Hujan##
"Untuk sekarang dan seterusnya, ini jadi kamar pribadi kamu," tutur Maurisa sembari membuka pintu tinggi bercat abu-abu muda.
Netra hitam Vanessa mengitari setiap sudut kamar yang cukup luas bernuansa simple itu. Sangat nyaman dipandang, dominan warna putih membuat Vanessa dengan lancang berpikir bahwa kamar itu memang didesain untuknya. Namun, perkataan tuan rumah mengenai untuk sekarang dan seterusnya membuatnya menarik kesimpulan bahwa sepertinya ia akan menumpang di tempat asing itu cukup lama.
"Terima kasih banyak, Tante," cicit Vanessa yang mengekori wanita pemilik rumah menuju sofa panjang ukuran sedang tepat di samping jendela. "Tapi, apa enggak terlalu berlebihan kalau saya di kamar ini? Saya bisa di kamar lantai bawah aja, Tante." Vanessa sungkan. Kamar itu sama sekali tak terlihat seperti kamar tamu, lebih seperti kamar pribadi pemilik rumah.
"Vanessa, jangan sungkan. Anggap ini bukan tempat asing untuk kamu." Vanessa jelas menangkap sorot sendu dan penuh prihatin dari manik mata wanita anggun di hadapannya itu. Bagaimana mungkin Vanessa tidak merasa sungkan, ia bahkan hanya orang asing.
"Nak, ini rumah kamu sekarang, di sini tempat kamu pulang. Kita adalah keluarga." Keluarga, satu kata itu adalah keajaiban. Vanessa merasakan hangat yang menggerayangi tubuhnya yang kaku, jantungnya seperti kembali berdetak setelah sekian lama beku, matanya tiba-tiba buram, sosok wanita di hadapannya menjadi susah ia kenali karena genangan bening yang entah sejak kapan menumpuk menunggu jatuh.
Meski ia tak paham mengapa masih ada orang-orang seperti Harry dan Maurisa, tapi tak bisa dipungkiri ia begitu bersyukur setiap detiknya. Bertemu Maurisa membuatnya merasa kembali memiliki arah dan tujuan hidup di saat ia tak punya apa-apa lagi bahkan ingatannya sendiri.
Tiba-tiba ia merasakan suhu yang semakin hangat, matanya jernih kembali karena bulir bening itu sudah berhasil lolos, Maurisa memeluknya dengan hangat tapi juga hati-hati seolah ia benda rapuh yang mudah pecah.
Dokter memang mendiagnosis dirinya mengidap phobia akan sentuhan, tapi pelukan Maurisa tak membuatnya merasa terancam, ia justru nyaman.
"Hei ... jangan nangis, nanti cantiknya hilang," ucap Maurisa dengan serak, Vanessa tersenyum untuk pertama kalinya tanpa harus merasa terpaksa. Ia melihat Maurisa yang mencoba menenangkannya padahal wanita itu juga meneteskan air mata beberapa kali yang mampu ia hapus dengan cepat.
Vanessa pikir, mungkin rasa kasihanlah yang menjadikan keluarga Harry begitu baik terhadapnya. Gadis itu masih teramat sulit percaya dengan segala hal yang sedang ia alami.
"Terima kasih sekali lagi, Tante." Suara Vanessa hampir tak terdengar, Maurisa hanya mengangguk sambil tersenyum hangat.
"Sekarang, ganti baju dan istirahat. Nanti malam kita ngobrol lagi, ya?" Vanessa secepatnya mengangguk dan Maurisa melangkah keluar.
Sejuta tanda tanya menyeruak masuk ke dalam otaknya. Tuhan mengirimkan malaikat tak bersayap kepadanya secara cuma-cuma, atau mungkinkah ia melupakan harga yang harus dibayarnya untuk ini semua?
Gadis itu beralih ke atas ranjang empuk berselimut putih, entah apa yang terjadi dengan kehidupan masa lalunya, mimpi buruk terus saja merenggut sebagian dirinya perlahan-lahan. Ia tak pernah bisa menghilangkan bayangan sosok Rifkhan yang menyorot sedih ke arahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Hujan [COMPLETE]
Novela JuvenilStory by: vitisme Cover by: vitisme [Teenfiction/End] PART LENGKAP, REVISI BERJALAN Teruntuk dia, Tokoh utama dari kisah retaknya hatiku. Berkisah tentang sesosok gadis remaja yang melupakan seluruh memori penting dalam hidupnya, ia dihadapkan denga...