Seperti mentari yang menghangatkan pagi, senyum dan tatapannya, dua hal yang menjadi candu bagiku.
Dear, Hujan##
Vanessa menutup buku kecil itu dan menyimpannya di dalam tas. Hari pertama sekolah setelah libur semester yang berlanjut dengan tahun baru, hari pertama di semester genap, dan hari pertama dia merasa seluruh penghuni sekolah menatapnya dengan tatapan yang membuat Vanessa ingin mendengar lonceng pulang sekolah lebih cepat.
Hari ini hujan, di luar sana terlihat gelap karena awan hitam berarak, pun angin berhembus cukup kencang. Vanessa melihat kebanyakan teman kelasnya tidak begitu bersemangat karena cuaca dan bahan pelajaran yang membosankan membuat kombinasi tepat untuk tidur bahkan Vanessa juga mengantuk.
Gadis itu tidak menyimak, matanya hanya tertuju pada jendela yang menampilkan tirai hujan, tidak pernah jemu menatap pemandangan yang selalu terlihat sama. Tatkala dia mulai bermain dengan imajinasi, tiba-tiba sekelebat bayangan hitam muncul dalam penglihatannya, bayangan semua yang terproyeksi tanpa aba-aba di dalam pikirannya, perlahan berubah menjadi lebih nyata, Vanessa mulai memejamkan matanya, tapi semua itu terlihat seperti mimpi yang tak bisa berakhir.
Bayangan itu mulai berubah menjadi sosok seorang gadis yang samar, duduk di balkon, fokus menekuri laptop di atas meja kecil. Vanessa menggigit bibir bawahnya, berusaha mengontrol agar secarik ingatannya itu tak lenyap. Setidaknya, kali ini biarkan Vanessa tahu siapa gadis itu, mungkinkah dirinya sendiri? Tapi kali ini dia masih gagal, gadis itu menghilang.
Vanessa membuka matanya dengan pias, hanya mendapati ruang kelas yang masih tetap membosankan dan jendela yang kini berembun. Dia memang sudah selesai dengan phobianya, tapi ingatannya belum berhasil dia dapatkan, padahal sudah cukup lama dari sejak pertama dia siuman. Yang lebih membuat Vanessa merasa sedih adalah mengetahui fakta bahwa sejauh ini tidak ada satupun anggota keluarga yang mencarinya, mereka seperti benar-benar melupakannya.
Tiba-tiba Lisha yang duduk tak jauh darinya menegur. "Lo kenapa, Ness?"
Gadis itu mengerjap, tidak sadar bahwa setitik air mata telah jatuh di pipinya, dia buru-buru menyeka dan hanya tersenyum singkat guna memberi jawaban yang tidak bisa Lisha pahami.
"Lo sakit? Kita ke UKS aja gimana?" tanya Lisha, gadis itu terlihat cemas. Tapi Vanessa menggeleng dan itu cukup menjadi alasan untuk Lisha kembali diam, dia berkesimpulan bahwa Vanessa sedang tidak ingin berbagi masalah.
Setelah melewati berjam-jam kelas belajar yang menjemukan bagi Vanessa hari ini, pada akhirnya dia bisa menghela napas saat suara bel pertanda semua telah usai berbunyi. Dia akan segera pulang dan bergelung di balik selimut, sisa-sisa wangi hujan masih tertinggal di udara, dinginnya masih sama, dan Vanessa berharap bisa segera sampai ke rumah. Namun, impian kecil itu harus tertunda karena hari ini adalah jadwal piketnya. Sial.
"Ness, lo nyapu, ya. Gue bersihin papan tulis," kata Riska yang menjadi teman piketnya.
"Beres." Gadis itu pun beranjak mengambil sapu.
Tiba-tiba saat Vanessa sedang sibuk menyapu. "Holaaa!!!" sapa sebuah suara dari arah pintu. Vanessa melebarkan matanya saat menoleh.
"Raffa? Kamu ngapain di sini?"
"Yaa mau jemput pacar lah, apa lagi?" Raffa melangkah masuk manghampiri Vanessa. Riska yang masih berada di kelas pun segera berpamitan karena merasa tidak nyaman bila harus menjadi nyamuk nyasar di situ.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Hujan [COMPLETE]
Teen FictionStory by: vitisme Cover by: vitisme [Teenfiction/End] PART LENGKAP, REVISI BERJALAN Teruntuk dia, Tokoh utama dari kisah retaknya hatiku. Berkisah tentang sesosok gadis remaja yang melupakan seluruh memori penting dalam hidupnya, ia dihadapkan denga...