"Namaku Hanum" katanya sukses membuat Iyyas kaget, baru kali ini ada yang mengajaknya berkenalan."Nama kamu siapa ?"
Agak malu-malu Iyyas menjawab, "Iyyas"
"Mm sebagai tanda terima kasih, apa kamu mau jadi temanku ?" tanya Hanum tersenyum.
Bukannya menjawab, Iyyas malah garuk-garuk kepala, rupanya dia canggung.
Barulah saat Hanum mengulangi pertanyaannya, Iyyas menjawab,
"Ya gua sih mau-mau aja"Hanum tersenyum teduh, membuat Iyyas ikut tersenyum.
Dan hari itu Iyyas hanya mendapat sedikit dari penghasilan ngamen. Karena gitar satu-satunya harus pecah berantakan.
Namun, dia mendapat hal yang lebih baik dari uang, yakni teman.Ya, walau waktu masih di Jogja Iyyas memiliki banyak teman, tapi dari semua temannya itu tak ada sama sekali yang benar. Padahal Iyyas ingin memiliki teman yang baik-baik.
"Kamu tinggal dimana ?"
"Gua nggak punya rumah, gua tinggal di stasiun" jawab Iyyas sedikit malu-malu.
Lantas Iyyas menceritakan riwayat hidupnya pada Hanum hari itu juga, mulai dari asalnya tinggal di stasiun Tugu, lalu tujuannya datang ke ibu kota.
Hingga pukul dua siang mereka ngobrol di halte tersebut, sampai Hanum memutuskan untuk pulang.
"Ya udah, nanti besok ketemu di sini ya" pinta Hanum sebelum naik ke atas bus yang berhenti untuk mengangkut penumpang di halte.
"Lho, mau ngapain ?" tanya Iyyas heran.
Namun tanpa menoleh, apalagi menjawab, Hanum langsung naik ke atas bus.
"Woy, Num !" panggil Iyyas sedikit kesal.
Akhirnya Iyyas memilih untuk pulang ke tempatnya tinggal, yakni gerbong kosong di stasiun.
.
.
.
."Satu..dua..tiga..empat..", Iyyas menghitung uang hasil ngamen tadi siang di atas gerbong.
"Wah, cuma dapet tiga puluh lima nih" umpat Iyyas. Seraya melepas topi kumalnya, Iyyas memasukkan uang ke dalam saku.
Iyyas mengacak-ngacak rambut pendeknya pelan, membuatnya tambah berantakan.
"Ck, mana gitarnya rusak lagi" ujarnya agak frustasi, "Terus gua mau kerja apaan dah... ?"
Semilir angin sore menerpa wajah Iyyas yang putih kekuning-kuningan, membuat debu-debu sedikit menerpa wajah.
"Nggak mungkin kan gua nyopet lagi ?" lirih gadis itu.
Derit roda kereta yang melintas mengakhiri kalimat Iyyas, lalu laju kereta yang begitu kencang membuat rambut Iyyas berkibas-kibas ke udara.
Gadis itu mendekap lutut sambil memandangi kereta yang melintas. Pikirannya melayang jauh, antara keluarga dan nasibnya di ibu kota ini.
Tiba-tiba dia teringat pada kata-kata Paul saat preman itu mengatakan tentang asal-usulnya.
Waktu itu gue ama Benjo nyulik elu di rumah sakit Sejahtera yang ada di Jakarta. Benjo nunjuk keranjang bayi yang plat namanya ntu Ithiyah Maghfirah, jadi gue ambil aja tuh bayi.
Pas di sini gue ubah namanya jadi Iyyas.
Gue inget kalau di leher bayi ntu ada tanda lahirnya, dan ampe elu besar juga masih ada.
Kalau elu mau ketemu orang tua elu, elu dateng aja ke rumah sakit itu. Gue yakin dokter persalinan bakal inget ama elu kalau elu tunjukin ntu tanda lahir.
Kalau perlu ntar gue ikut ngomong deh.
Iyyas memejam mata, merasakan sang angin mempermainkan rambutnya.
Gua kesepian...
Gua rindu sosok orang tua...
Gua butuh teman...
Hati gua sunyi, tanpa ada penyejuk sedikitpun...
Iyyas membuka matanya, ternyata stasiun masih ramai walau hari semakin gelap.
Sekonyong-konyong ada suara yang mengagetkan Iyyas, membuat lamunan si pengamen buyar seketika."Woy gelandangan !"
Iyyas menoleh ke bawah, lantas dia memutar bola mata bosan saat tahu siapa yang muncul.
Gadis itu berdiri sambil memakai topi, agak sebal Iyyas menatap si pengganggu.
"Ngapain lu kesini ?""Elah, turun kali. Kagak baik ngomong dari situ" ujar Gilang sekenanya.
Walau malas, namun Iyyas tatap melompat dari atas gerbong. Dia berdiri di hadapan Gilang.
"Apa ?"
"Berhubung kemarin gue kalah, gue mau nantangin elu lagi"
Malas Iyyas menjawab, "Tahu ah, capek gue !"
Tanpa memperdulikan Gilang, Iyyas masuk ke dalam gerbong, meninggalkan si cowok yang melongo.
Namun rupanya Gilang merasa tidak sabar, dia menerobos masuk ke dalam gerbong Iyyas. Betapa terkejutnya dia saat tahu Iyyas sedang melepas kaus kumal.
Mata Iyyas sendiri melebar saat menyadari kehadiran Gilang. Untung saja Iyyas baru membuka baju sebatas pusar.
"Bangsat !!!" Umpat Iyyas seraya menurunkan kembali kausnya, menutup pusar yang sempat dilihat oleh Gilang.
"Anjir, keluar nggak lu !!!"Seperti tersadar, Gilang langsung melompat dari gerbong Iyyas. Meninggalkan si pemilik yang rupanya marah besar.
"Gila, ralat banget si Gilang"
Iyyas langsung mengunci pintu gerbong, lalu segera berganti baju sebelum ada yang datang lagi.
.
.
.Malamnya, Iyyas pergi ke tempat tongkrongan stasiun Senen. Karena dia sedang lapar sekarang, Iyyas baru menyadari bahwa dia belum makan apa-apa sejak pagi.
Ada banyak sekali orang di tongkrongan tersebut, Gilang dan temannya pun ada di sana. Meski malas untuk bertemu dengan cowok itu, namun apa boleh buat, karena setahu Iyyas hanya tempat itulah yang masih buka di jam sembilan malam.
Ternyata dugaan Iyyas benar kalau si Gilang pasti akan mempermainkannya. Dan itu membuat Iyyas jengah setengah mati.
"Oy, Yas, tadi lumayan juga ya. Ternyata perut elu lebih putih dari yang gue kira" Gilang menyeringai.
"Ah, serius lu ?" Tanya temannya, Suli.
Penuh kepercayaan diri Gilang mengangguk, membuat Iyyas melirik sinis, plus jengah, dan bosan.
Namun malam ini Iyyas tak mau ribut, kerena dia terlalu lelah untuk meladeni Gilang.
Dia memilih memesan nasi pada Mbak Iyah, begitu nasi sudah di bungkus, Iyyas segera bertolak dari sana.Tapi tiba-tiba suara Gilang berhasil menghentikan langkah jenjangnya.
"Kalau boleh, kapan-kapan gue lihat sawah elo dong"
Sudah cukup. Kini Gilang benar-benar keterlaluan padanya. Iyyas berbalik arah.
Tanpa basa-basi lagi Iyyas mencengkeram kerah kemeja Gilang dengan satu tangan, karena tangan yang satu lagi sibuk menenteng bungkus nasi.
"Elu kalau pingin mati jangan kayak gini caranya !" Sinis Iyyas.
Wajah gadis itu begitu dekat dengan wajah Gilang."Hh !" Gilang tersenyum tipis, tapi tak membalas perkataan Iyyas.
"Gua kagak suka kalau di rendahin kayak tadi, walaupun gua bukan cewek baik-baik. Karena gua masih punya harga diri !" Sentak Iyyas, "Paham ? Atau, elu mau lihat tonjokan mampir ke muka elu dulu biar lu paham ?"
Tanpa menunggu respon, Iyyas langsung menjauhkan tangannya dari kerah Gilang, lalu pergi. Tinggal semua yang ada di sana terbengong, cewek galaknya minta ampun.
"Gila, kasar banget tuh cewek" cetusan kalimat Suli barusan membuat Gilang tersenyum tipis.
Ya, Iyyas kasar. Berbeda dengan kebanyakan gadis, dan itu yang membuat Gilang tertarik padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANTARA ITHIYAH DAN IYYAS
Teen FictionDua bayi perempuan yang tertukar. Ithiyah yang sejatinya adalah Thalita Saranova dan Iyyas yang sejatinya adalah Ithiyah. Namun takdir memang aneh, ketika Ithiyah berada di tengah-tengah kemewahan, ketika itulah sang Ithiyah asli tengah menjajakan s...