Bab 21

46 3 0
                                    


++++
++++

Di tempat lain, di dalam bus yang sepi, Iyyas sedang mati-matian membujuk supir bus untuk putar arah. Karena saat ini, arah bus tersebut berlawanan dengan arah stasiun Senen.
Tadi, saat tiba di belokan, bus berbelok ke arah kanan, padahal arah stasiun Senen harus berbelok ke kiri.

Alasan supir sendiri adalah,
"Sekarang udah sore Neng, trus ujan lagi, jadi bus ini harus segera pulang ke kandangnya, Neng"

Tapi rupanya Iyyas tidak mau tahu, dia terus saja marah-marah pada supir bus. Iyyas merasa sudah membayar ongkos yang pas, harusnya dia juga turun di tempat yang pas.

"Gua nggak mau tahu, pokoknya bus ini harus puter balik !"

"Nggak bisa, Neng. Nanti saya bisa di marahin bos"

Iyyas menggerutu, "Ya terus, gua mau di turunin dimana ...?"

"Ada halte bus di depan, nanti turun di sana aja"

"Tapi gua tinggal di stasiun Senen, Bang ..."

Tak ada respon dari supir, rupanya dia mulai lelah terus-terusan berdebat dengan gadis aneh bertopi dan membawa gitar itu.

Merasa di abaikan, Iyyas berdecak kecil. Dia berdiri, mencoba melihat halte yang sudah terjangkau oleh indra penglihatan. Mata Iyyas menyipit untuk melihat lebih jelas, di sana ada seseorang yang berdiri sambil melipat tangan ke dada.

Walau samar karena curahan hujan yang terlalu deras, Iyyas masih bisa memastikan bahwa orang yang di sana adalah seorang cowok yang memakai seragam sekolah. Tak jauh dari tempat cowok itu berdiri, sebuah xenia putih terparkir di bawah hujan.

Lelah berdiri, Iyyas memilih duduk kembali. Namun belum juga pantatnya menempel di kursi bus, suara supir sudah menegur, "Udah sampai, Neng"

"Ah, sialan!" Umpat Iyyas, "Nggak mau Bang, gua bilang kan ke stasiun Senen, bukan ke sini"

"Ck, ya udah nih, uang kamu saya balikin. Tapi turun di sini"

"Ah kagak mau !"

Gemas. Supir bus pun segera mendekati Iyyas. Di tariknya tangan gadis itu. Iyyas berontak sambil teriak-teriak.
"Gua nggak mau ...!!"

"Ayo, saya bilang turun di sini !"
Supir mencoba melepas genggaman tangan Iyyas pada badan kursi.

"Puter balik Bang, gua nggak mau turun di sini...!"

"Eh turun !"

"Kagak mau... !"

"Mau saya laporin polisi ?" Ancam si sopir.

"Gua nggak peduli, intinya gua nggak mau turun di sini !!"

"Ayo !!"

Pintu bus sudah terbuka lebar, bersiap untuk memberi jalan pada gadis yang saat ini sedang berjuang melawan supir bus.
"Gua bilang nggak mau ...!"

"Turun, ini bus saya !"

"Bodo amat, gua nggak mau turun. Puter balik aja ...!!"

"Udah sore Neng, cuaca juga ujan. Mending turun di sini"

"Rese ..... !!!"

"Urusan saya Neng" Dalih si supir.

"Ah ... Sialan ...!!"

Sementara itu di halte, cowok yang tadi di lihat Iyyas merasa penasaran dengan teriakan-teriakan yang terdengar dari dalam bus. Apalagi suara itu milik seorang cewek. Jangan-jangan dia mau di apa-apain lagi sama supirnya, batin si cowok.

Dia pun mendekat dan melongok lewat pintu bus. Tapi, belum juga kepalanya melewati pintu, tiba-tiba saja Iyyas di dorong keluar.
Refleks, si cowok menangkap tubuh kecil Iyyas, kini posisi Iyyas berada di pelukan si cowok.

Iyyas menelan ludah karena saat ini jarak wajah mereka hanya seuluran ibu jari. Rupanya, si cowok juga merasakan kegugupan yang sama. Buktinya, Iyyas bisa merasakan degupan kencang dalam dadanya.

"Nih, Neng gitarnya, ketinggalan di dalem" Suara supir bus mengagetkan kedua orang yang masih dalam posisi pelukan.

"Eh iya makasih Bang" Jawab Iyyas geragapan Seraya menjauhkan tubuhnya dari dada bidang si cowok.

Setelah itu, Iyyas memilih duduk di kursi panjang halte. Dia tak mau peduli dengan cowok asing berseragam SMA itu.

Iyyas bertopang dagu sambil menatap curahan hujan yang semakin lama semakin deras. Gitar kesayangan di letakkan tak jauh dari posisi kakinya yang menapak di lantai halte.
Perasaan Iyyas saat ini adalah bete plus jengkel alias bad mood.

"Elo Iyyas, kan ?"
Si cowok membuka percakapan pertama, suaranya beradu dengan gemericik air hujan.

Tanpa menoleh Iyyas hanya merespon dengan gumaman singkat, "Hm"
Soalnya dia heran, kenapa akhir-akhir ini banyak sekali orang yang tahu namanya, padahal Iyyas tidak tahu nama mereka.

Merasa tidak puas dengan respon yang di dapat, cowok itu kembali berkata, "Gue Bagas"

"Hm"

"Lo kenal Ithiyah ?"

Deg !

Ithiyah ?
Tentu saja dia kenal, sebab namanya yang asli adalah Ithiyah, Ithiyah Maghfirah.
Dan Iyyas tahu, belum saatnya dia mengungkap semua ini.

"Ithiyah yang waktu itu ngeludahin elo di stasiun"

Oh dia.
Iyyas tersenyum getir. Dia lupa kalau cewek modis dan centil itu juga memiliki nama Ithiyah. Tapi Iyyas tidak tahu siapa nama panjangnya.

Bagas duduk tak jauh dari tempat duduk Iyyas, matanya tak lepas memandangi Iyyas dari ujung topi sampai ujung sepatu kets. Walau terkesan dekil, tapi tak bisa di pungkiri bahwa ke elokan Iyyas mampu membuat siapa saja terpana, termasuk Bagas sendiri.

Merasa di perhatikan, Ithiyah risih sendiri. Sudah tahu kan, kalau Iyyas itu tipe cewek risihan.
"Apaan sih, muka gua cantik banget ya, sampai-sampai lu natap gua sebegitunya. Oh iya makasih, tapi nggak usah lebay, karena gua nggak suka"

"Jangan kepedean, gue cuma ngeri lihat elo. Harusnya sekarang lo udah di rumah, karena sekarang udah sore, di tambah lagi ujan gede banget. Pasti orang tua lo hawatir"

Orang tua ?
Hawatir ?

Hati Iyyas terasa tertohok mendengar kalimat Bagas.

Tidak, selama ini dia sendirian, besar dan tumbuh dengan rindu, tanpa Ayah dan Ibu. Meniti kehidupan yang penuh kekerasan, penuh kesadisan. Iyyas tumbuh sebagai bajingan, preman, pencopet, dan terakhir sebagai pengamen.

Jadi, mustahil ada yang merasa hawatir padanya. Jika pun ada, paling-paling si Gilang, itupun hawatir kalau Iyyas tidak jadi mentraktirnya makan.

"Hm" Respon Iyyas mulai bete.

"Umm, gue mau bilang makasih sama elo. Karena berkat lo, acara tunangan gue sama Ithiyah di batalin"

Iyyas menoleh, raut mukanya berubah memerah menahan kesal, "Lu bilang makasih karena acara itu batal, sedangkan pacar lu marah-marah sama gua, sampai gua di ludahin"

"Ya, untuk itu gue minta maaf"

Iyyas hanya mendengus, lalu memalingkan wajah ke arah lain. Rupanya hujan sudah mulai reda, dan hanya menyisakan gumpalan awan hitam dan sedikit rintik-rintik gerimis saja.

Tak mau membuang waktu, Iyyas berdiri seraya meraih gitar. Kaki jenjangnya mulai melangkah untuk pergi dari sana.

Sebelum dia benar-benar pergi, dia sempat berkata pada Bagas, "Kalau lu nggak cinta sama Ithiyah, mending lu lepasin dia. Karena rasa sakit yang sesungguhnya adalah, ketika berhubungan dengan orang yang nggak pernah serius pada hubungan itu"

Bagas terkejut mendengar kalimat Iyyas barusan. Mata onyx-nya terus menatap punggung Iyyas yang semakin jauh di bawah naungan awan gelap dan di bawah rintik-rintik gerimis.

ANTARA ITHIYAH DAN IYYASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang