Dahulu kala ada seorang lelaki yang sudah menua, ia belum dikaruniai seorang anak.
Sangatlah diharapkannya memiliki keturunan. Lelaki tua itu menengadahkan telapak tangannya ke langit. Ia berdoa semoga saja Sang Maha Kuasa mengabulkan doanya.
Dan kau tahu? Sang Maha Kuasa itu telah menunjukan keperkasaan-Nya. Mengabulkan keinginan seorang hamba yang tak mungkin lagi memiliki seorang bayi.
Kau tahu kan?? Siapa lelaki tua yang kumaksud? Ia adalah Nabi Ibrahim, pria hebat yang aku kagumi. Aku yakin, beliau pasti sangat menyayangi Ismail. Ah... aku melupakan satu nama anak lelaki lainnya. Namanya Ishak.
Ya... aku membayangkan Beliau membesarkan mereka dengan sangat baik, penuh dengan kasih sayang dan kesabaran. Aku bisa membayangkannya bagaimana rasa senangnya Nabi Ibrahim memiliki putra yang sangat shalih, aku berfikir pastilah kegembiraan itu tak dapat kurangkai dengan majas apapun.
Namun siapa sangka, jika Sang Maha Kuasa menguji kembali kesabaran beliau.
Kau bisa bayangkan ketika anak yang sangat disayangi itu harus disembelih sesuai perintah-Nya. Aku terharu pada titik itu. Aku tak bisa membayangkan bagaimana perasaan Nabi Ibrahim ketika mendapat perintah tersebut. Bagaimanakah rasa sedihnya? Entahlah... mataku hampir berkaca membayangkan saat-saat indah ketika karunia itu datang, ketika hadiah yang benar-benar kita sayangi harus diambil kembali. Perasaan gelisah yang sangat mendalam.
Ismail meyanggupi dengan sikap keshalihannya. Oh, ini akan menjadi adegan paling mengharukan sepanjang hidupku. Aku tak bisa membayangkan bagaimana raut saudaranya memandang wajah Ismail kala terakhir kalinya saat itu. Ishak, pastilah juga terpukul.
Ini semua hanya bayanganku. Aku tersentuh. Kau tahu bagaimana bayanganku kembali pada sosok lelaki tua yang menunggu untuk dikaruniai seorang anak dengan penuh kesabaran, kau bisa bayangkan ia mungkin berdoa dengan kekhusyuk'an yang aku takkan bisa lakukan.
Satu hal yang tidak bisa kugambakan dengan pasti, apa semua orang yang menyayangi Ismail pada saat itu menangis? Bagaimana airmata itu menetes? Bagaimanakah rasa pilu itu menghujam. Atau di dalam hati mereka sudah dipenuhi ketegaran??Aku tak bisa membayangkan lagi. Yang ku tahu, sebilah gorok atau palah itu namanya mengarah keleher... sungguh aku tak bisa menjelaskannya.
😣
Yang terakhir kutahu, Ismail yang tadinya tergeletak dihadapan ayahnya sudah ada di samping. Di sisi ayahnya.
Yang kubayangkan setelah itu Nabi Ibrahim memeluk anak kesayangannya dengan ah aku tak tahu apa dengan deraian air mata kebahagiaan atau apa. Atau mungkin kaget atau bagaimana aku tak bisa menjelaskan. Aku hanya bisa membayangkan mereka pasti sangatlah lega. Kau tahu? Ternyata yang disembelih berubah menjadi seekor kambing, kambi apa domba ya? Yang jelas lagi lagi aku tak bisa membayangkan mamalia berkaki empat di masa lalu itu seperti apa. Mirip kerbau atau mirip bison?? Atau bentuknya seperti hewan purba yang jinak?? Entahlah.
Dan lagi, kau tahu bagaimana bayangan kesedihan itu berubah menjadi kebahagiaan? Aku lega sekali. Apa kau tahu cerita kelanjutannya??Yang kutahu, saat ini takbir menggema di mana-mana.
Sang Maha Kuasa itu keren. Kereeeeeen sekali. Ah aku mau bilang apa ya...Emmm..... menurutmu? Saat ini di alam sana, apa mereka masih mengingat masalalu itu ya? Ah kadang-kadang bayanganku seperti flashback. Kembali kedunia dahulu dengan bayangan asal-asalan.
Kita ambil positifnya sampai detik ini.
Hari Idul Adha
Pacitan,22 Agustus 2018
Evin Sarofah(Maaf jika ada kesalahan dalam menulis ini, kesalahan diksi atau kalimat kurang pantas)
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Allah
Randomini adalah kisah dari seorang gadis pemalu yang malu berteriak di khalayak umum. jadi ia hanya bisa menorehkannya dalam sebuah diary kecil yang ia harapkan bisa melegakan sedikit sesak dihati kecilnya.