Bagian 3. Kilas Balik

8.1K 1K 59
                                    

Kini Jeno sudah selesai mengenakan baju seragamnya. Ia menatap bayangan dirinya sendiri di depan cermin. Seorang remaja berkulit putih nan halus layaknya porselen. Pundak yang tegap dan postur tubuh yang nyaris sempurna. Mata Jeno memancarkan aura dingin nan kalem, namun suatu saat,  akan berubah menjadi lengkungan sipit yang memancarkan aura ceria nan polos ketika ia tersenyum. Hidungnya tampak begitu mancung dan agak besar. Jeno seringkali menyesalkan bentuk hidungnya yang tidak ramping, namun orang-orang justru banyak memuji hidungnya. Dan bibir itu, bibir tipis yang menggantung di wajah Jeno seolah melengkapi fitur wajah 'seorang pangeran berkuda putih nan tampan'.

Sayang sekali Jeno sama sekali bukan pangeran, bangsawan, bahkan bukan termasuk dalam keluarga yang 'beruntung'. Dia hanya anak keluarga yang harus merasa puas dengan bisa makan tiga kali sehari. Handphone yang saat ini ditangan Jeno hanyalah sebuah bonus tak terduga pemberian neneknya, begitu juga dengan rumah yang kini ia dan kakaknya tinggali. Selebihnya, Jeno tidak pernah berpikir apalagi berharap.

Jeno tidak mau terlalu bersikap melankolistik terhadap hidupnya yang kurang beruntung. Meski kedua orangtuanya harus meninggal saat usinya masih 8 tahun, meninggalkan dirinya berdua dengan kakaknya yang entah kebetulan atau tidak adalah seorang tunagrahita, dan harus hidup di bawah garis berkecukupan, Jeno tidak bisa mengeluh. Lebih tepatnya Jeno sudah terlalu lelah untuk mengeluh. Seberapa kerasnya ia mengeluh dan menangis, toh hidupnya tidak akan berubah. Kakaknya akan tetap seperti itu, datang kepadanya, merengek meminta dibelikan es krim atau cokelat, dan akan menangis keras setelah Jeno menolaknya.

Memikirkan kakaknya membuat Jeno menghela nafas. Ya, Jeno memang seringkali menghela nafas lebih dalam jika memikirkan kakaknya. Ia pun mengambil jas sekolahnya dan beranjak keluar dari kamarnya. Ia harus memeriksa keadaan sang kakak.

"Kak.. Sudah?" Suara Jeno teredam di depan pintu kamar kakaknya.

Tak butuh jawaban, pintu kamar terbuka dan menampilkan sosok kakaknya yang tersenyum bangga ke arahnya.

"Sudahh~ Yongie sudah pakai seragam~"

Jeno tersenyum ketika melihat kakaknya sudah dalam balutan seragam Sekolah Luar Biasanya. Sebuah kemeja berlengan pendek putih, sebuah dasi kupu-kupu berwarna merah marun, celana panjang, dan baret dengan warna serupa. Tak lupa ransel spongebob kesayangan sudah tergantung pas di punggung kakaknya.

Sebenarnya jika Jeno boleh kritis, ia tak menyukai seragam kakaknya itu. Penampilan itu terlalu mencolok di mata Jeno. Semua orang tentu akan langsung tahu jika kakaknya adalah siswa berkebutuhan khusus ketika melihat seragamnya. Belum lagi tas spongebob yang dikenakakan kakaknya kini. Jeno sebenarnya berusaha mencarikan tas lain dengan model yang lebih 'normal' untuk remaja seusia kakaknya namun tampaknya itu percuma. Kakaknya sudah jatuh cinta dengan tas itu dan memakainya selama bertahun-tahun. Anehnya, entah kenapa penampilan kekanakan kakaknya itu terlihat cocok-cocok saja di tubuhnya. Kakaknya terlihat sangat manis dengan baret, dasi kupu-kupu dan tas spongebob itu.

Ya, mungkin satu-satunya yang Jeno harus syukuri pada keluarganya adalah penampilan visual mereka yang orang bilang di atas standar. Jeno tak ingin menyombong, tapi setidaknya begitulah yang sering ia dengar dari orang-orang. Tak jauh dengan penampilan Jeno yang rupawan, sebenarnya kakak Jeno, Taeyong, menampilkan fitur wajah yang lebih rupawan. Mata besar Taeyong dengan pupil hitam lebar, membuatnya selalu tampak berbinar-binar. Hidungnya mancung dan ramping, itu yang kadang membuat Jeno merasa iri pada kakaknya. Garis rahangnya tegas namun cantik. Alisnya tegas seperti Jeno, namun lebih sering tampak turun seperti tatapan sendu anak kucing yang meminta sepiring susu. Dia juga punya lesung pipi rahasia yang akan muncul ketika ia tertawa atau tersenyum lebar. Semua fitur pada wajah kakaknya terlihat nyaris sempurna untuk ukuran manusia normal, dan menjadikan wajah Taeyong seperti boneka berjalan.

Namun, sekali lagi Jeno menyayangkan kekurangan kakaknya. Kakaknya lahir dengan keterbelakangan mental yang membuatnya tampak seperti anak usia 5 tahun di usinya yang menginjak 19 tahun. Kemampuan kognitif Taeyong tidak berkembang sempurna seperti anak-anak kebanyakan. Penyakit itu mulai terlihat saat Taeyong masih batita. Menurut Nenek Jeno, Taeyong bahkan tidak bisa mengeja kata sederhana seperti 'mama' atau 'mamam' di tahun ketiganya, sementara anak-anak seusia Taeyong mungkin sudah bisa mengucapkan kalimat sederhana. Dan gejala itu kian terasa seiring bertambahnya usia Taeyong. Taeyong bisa memanggil nama 'Jeno' ketika Jeno sudah memasuki sekolah dasar, dan mulai dapat berkomunikasi dengan kalimat sederhana setelah ia memasuki sekolah dasar luar biasa di usia 10 tahun. Tentu saja perkembangan itu terasa begitu lambat jika dibandingkan Jeno yang terlahir normal. Ah, mungkin memang sejak awal tidak perlu dibandingkan.

Sungguh itu adalah masa-masa yang sulit bagi Jeno. Di usia Jeno yang masih sangat muda, ia harus menanggung hidup kakaknya yang berkebutuhan khsus setelah ayah dan ibunya meninggal karena suatu kecelakaan kerja. Pabrik tempat mereka berdua bekerja terbakar dan orang tua Jeno adalah dua orang di antara puluhan pekerja yang terjebak dan meninggal karena kekurangan oksigen dan terpanggang api. Ia ingat bagaimana neneknya memeluknya dan juga Taeyong erat sambil menangis tersedu-sedu. Ia juga ingat bagaimana kakaknya menangis tak terkendali pada suatu malam karena ibu dan ayah tak kunjung pulang. Ia terbiasa tidur dengan ibunya, dan kepergian ibunya belum dapat ia terima dan cerna. Tentu itu berbeda dengan Jeno yang menyadari akan kondisinya yang telah berubah. Jeno ingat saat itu ia hanya bisa berteriak memarahi kakaknya karena tak kunjung meredakan tangisnya, namun tentu saja Taeyong tak mampu memahaminya dan terus menangis.

"Berhentilah menangis, bodoh! Mama tidak akan kembali!" Bentak Jeno, namun alih-alih berhenti, kakaknya meraung kian keras.

"Huwwwaaa....! Mama! Mama! Mamaaaa..!!!"

"Cup-cup.. Yongie sayang... Yongie sekarang tidur sama Nenek yaa.."

"Mama!!! Mamaaaaa!! Hueeee.... Mma.. hiks, Maaaaa....."

"Kakak! Berhentilah.. kasian Nenek..."

"MAMAAAAA!!!"

Dan ingatan jeritan Taeyong itu seolah membuyarkan lamunan Jeno.

"Jeno.. Jeno nangis?"

Mata Jeno melebar ketika menyadari jika matanya basah dan sebulir air menetes dari ujung matanya. Buru-buru ia mengelapnya dan tersenyum pada kakaknya.

"Ah, tidak, Jeno kelilipan.."

Tampak kakaknya menatapnya lama. Ia biasa melihat ekspresi itu ketika kakaknya sedang mencerna ucapan seseorang. Ya, ia kadang tidak bisa merespon dengan cepat ucapan seseorang, dan ia harus mencernanya sebelum akhirnya ia mengerti. Atau seringkali tetap tidak mengerti.

"Jeno nangis.."

Benar bukan? Ia tidak mengerti ucapan Jeno. Atau mungkin Taeyong bisa merasakan jika Jeno berbohong.

"Tidak~ Ayo kita makan. Nanti kita bisa terlambat."

Seperti biasa, Jeno akan segera memegang pundak kakaknya, memutarnya dan menggiringnya. Itulah cara Jeno mengalihkan perhatian kakaknya dan seringkali berhasil. Atau kadang tidak.

Taeyong membalik lagi tubuhnya dan memeluk tubuh Jeno erat. Untuk beberapa saat Jeno termenung.

"Jeno jangan sedih ya.. kakak sedih juga.."

Seketika hati Jeno seperti diguyur air sumur yang sedingin es tadi, membuat dadanya terasa ngilu dan getir. Ia tak kuasa untuk tak membalas pelukan kakaknya, berharap itu bisa menghangatkan hatinya. Sementara itu, Jeno menengadah dan mengerjap-ngerjapkan matanya, berharap air yang menggenang di bola matanya tak terjatuh dan segera mengering tertiup angin pagi yang dingin. Bagaimana pun ia telah berjanji tak akan menangis di depan kakaknya. 

"Iya Kak.. Jeno tidak akan sedih.. Jeno akan selalu senang, biar Kakak juga senang.."

Jeno mengucapkan itu dengan tulus dan ia buat sesederhana mungkin supaya kakaknya dapat mengerti, bahwa Jeno akan berusaha membuat kakaknya tersenyum.

Dan ia mendapat balasan dengan sebuah anggukan di dadanya.

***

Bersambung


Beberapa informasi mungkin kurang akurat, jadi aku sangat mengapresiasi jika ada saran atau koreksi yang membangun. ^^

Jangan lupa untuk beri vomment kalau pembaca suka dengan cerita ini. Ini FF pertamaku, jadi aku butuh banget dukungan atau mungkin kritik/saran dari pembaca. Terima kasih.. ^^

Childish (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang