Jeno melirik ke arah angka-angka yang berjejer melingkar di jam dinding kelas. Jarum sudah menunjuk angka 13.44, yang berarti tak lama lagi kelas Jeno akan berakhir. Ia tak berhenti berpikir, mengapa gurunya begitu keras kepala untuk terus berbicara hingga detik terakhir jam pelajarannya.
Baru saja Jeno selesai menggerutu dalam hati, bel sekolah berbunyi. Dengan cepat ia meringkas barang-barangnya dan memasukkannya ke dalam tas. Begitu gurunya mengucapkan salam, ia pun bergegas meninggalkan kelas.
Ia melangkah dengan agak terburu dan sesekali melihat layar ponselnya. Kelas kakaknya berakhir pukul 13.10, itu sebabnya Jeno bergegas pulang sekolah dan menjemput kakaknya. ia tak mau kakaknya menunggu terlalu lama.
Biasanya Haechan yang menemani Taeyong pulang, sayangnya beberapa bulan terakhir Haechan mengikuti kelas tambahan di sekolahnya, sehingga mau tak mau Taeyong harus menunggu Jeno datang menjemputnya.
Jeno tak yakin jika Taeyong dapat pulang sendiri, mengingat ia tak pernah membiarkan Taeyong melakukannya. Jeno terlalu khawatir jika kakaknya tersesat atau diganggu murid berandal yang bersekolah di sekolah Haechan. Sekolah Haechan, yaitu SD, SMP, SMA Tunas Bangsa memang terkenal dengan reputasi murid berandalnya. Itulah sebabnya Jeno meminta kakaknya untuk menunggunya di depan sekolah. Setidaknya di sana ada bapak penjaga sekolah yang bisa ikut mengawasinya.
Jeno mengelap bulir keringat di pelipisnya. Hawa dingin yang begitu menggigit pagi tadi seolah tak pernah terjadi di hari itu. Entah karena teriknya panas atau langkah kaki Jeno yang terlalu terburu, atau mungkin keduanya, membuat tubuh Jeno harus memeras keringat ekstra.
Rasa lelah dan gerah itu berangsur menghilang ketika Jeno melihat kakaknya yang sedang duduk di tembok sekolahnya. Tempat Taeyong duduki tampak teduh karena dinaungi sebuah pohon beringin yang rindang. Jeno juga melihat kakaknya sedang melakukan kegiatan yang biasa ia lakukan selagi menunggu Jeno: menggambar. Kakaknya memang suka sekali menggambar sejak kecil. Hampir di setiap buku pelajaran Taeyong tak luput dari goresan-goresan isengnya.
Jeno pun mendekat tanpa Taeyong sadari, dan dengan sebuah kalimat sederhana membuat kakaknya terkejut.
"Hayoo.. Kakak nggambar apa?"
Taeyong seketika menoleh ke arah Jeno dengan tatapan kaget khas anak anjingnya.
"Aaa... Jeno.. Jeno lama!"
Jeno terkekeh ketika melihat kakaknya yang semula asyik menggambar langsung berubah merengek ketika Jeno datang. Jeno pun melirik halaman belakang buku tulis yang saat ini Taeyong jadikan kanvas gambarnya.
"Kakak bikin apa sih? Bagus banget." Puji Jeno pada karya Taeyong yang tampak seperti kardus susu favorit kakaknya itu.
"Ini... Ini Bombob~"
Ah, kini Jeno bisa mengenali kotak kardus susu yang kakaknya buat. Itu karakter Spongebob kesukaannya. Taeyong memang sering memanggilnya dengan 'Bombob' karena baginya lebih mudah untuk diucapkan dan diingat.
"Ooh.. Bombob.. Mana matanya? Hidungnya? Kok pesek kayak Kakak?" goda Jeno yang kini duduk di sebelah Taeyong. Hitung-hitung Jeno ingin melepas penat dengan duduk di tempat yang teduh itu.
"Aaarrhnng (suara erangan khas Taeyong) Kakak nggak pesek~ Kakak mancung." Ujarnya sambil mengelus-elus hidung mancungnya dengan dua jari tangannya. Pemandangan lucu yang membuat Jeno tak mampu untuk menahan senyum. Tentu saja Jeno tahu jika hidung Kakaknya itu mancung. Cuma orang gila yang akan mengatakan hidung kakaknya itu pesek.
"Hehe.. Kalau gitu mana hidung Bombobnya?"
"Ha?"
"Mana hidungnya~?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Childish (END)
FanfictionCerita ini mengisahkan perjuangan Lee Jeno dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dan kakaknya yang mengalami keterbelakangan mental. Mampukah Jeno bertahan dalam menghadapi masalah yang timbul silih berganti? 'Karena kau tahu Kak? Kadang aku merasa lela...