Bagian 9. Nostalgia

5K 792 59
                                    

Mendengar panggilan lemah Nenek, Jeno segera berjalan dan bersimpuh di depan ranjang neneknya. Tangannya mencium tangan keriput Nenek dengan khidmat. Menyesap segala rindu dan memori indah yang neneknya pernah lakukan dengan tangan itu.

"Nek.. "

Kini mata Jeno menatap mata neneknya yang tampak tak fokus menatap dirinya. Lima tahun berlalu dan perubahan neneknya datang begitu drastis. Mata neneknya yang dulu berwarna hitam kelam seperti kumbang kini diliputi awan putih tebal, menghalangi neneknya untuk melihat. Meski mata itu seolah mati, tapi Jeno masih melihat senyum terukir di bibir keriput neneknya. Senyum yang begitu hidup dan nostalgic.

"Bagaimana kabar Nenek? Jeno dengar Nenek sakit lagi?"

Nenek Jeno tersenyum, matanya bergerak-gerak seolah mencari sosok Jeno, cucu yang ia rindukan.

"Ya.. Cuma pusing saja.. Besok juga Nenek sembuh."

Jeno hanya mengulas senyum mendengar kebohongan manis neneknya. Dilihat dari mata telanjang pun sudah tampak jika kondisi neneknya tidak baik-baik saja.

"Jeno.. Bagaimana kabarmu Nak? Bagaimana kakakmu?"

Jeno tersenyum dan mengelus punggung tangan neneknya.

"Jeno baik Nek, begitu juga Kakak. Kakak selalu sehat dan ceria tiap harinya."

Mendengar penuturan Jeno, mata Nenek bergerak-gerak dan senyumnya terulas lebar, memperlihatkan susunan giginya yang tak lengkap lagi.

"Yongie.. Apa dia sudah tidak rewel lagi? Apa dia masih merepotkanmu?"

Jeno menghela nafas sejenak sebelum bibirnya mampu menjawab pertanyaan Nenek.

"Kakak.. masih sama.. masih manja dan rewel ketika makan. Tapi dia tidak pernah merepotkan Jeno, Nek.. Taeyong sudah jadi kakak yang baik"

Nenek tertawa pelan, namun matanya mulai basah.

"Nenek merindukannya, Jeno.. Nenek kangen Yongie.."

Suara bergetar neneknya seolah mendobrak pertahanan batin Jeno. Mata Jeno sontak basah dan Jeno berusaha mati-matian agar tidak ada air yang menetes dari matanya.

"Iya.. Kakak juga merindukan Nenek.. Tadi Kakak rewel ingin ikut, tapi Jeno melarangnya. Nenek tahu kan.."

Jeno tak perlu melanjutkan kata-katanya dan neneknya sudah mengangguk mengerti. Kehadiran Taeyong hanya akan memanasi kondisi di rumah itu. Jika rumah itu diibaratkan sebuah arang yang membara, kehadiran Taeyong adalah minyak yang akan membuat api dalam arang itu berkobar kembali. Bibinya tak akan menahan diri jika berhadapan dengan Taeyong.

"Ya.. Nenek mengerti."

Beberapa selang kemudian tak ada kata-kata yang terucap dari Jeno maupun neneknya. Mereka hanya saling berpegangan tangan dan seolah tengah membawa kembali kenangan-kenangan di masa lalu. Baik itu masa sulit maupun masa-masa bahagia merupakan kenangan yang berarti bagi Jeno dan neneknya.

"Kau masih membawa mangga kemari, Jeno?"

Jeno agak terkejut saat tiba-tiba Neneknya mengangkat topik itu.

"Nek.."

"Kau tidak perlu mengingat kata-kata bibimu.. "

Jeno tertegun. Nenek mengetahuinya; alasan Jeno membawakan mangga atau makanan manis setiap berkunjung. Di saat ia berpikir tidak akan orang yang mengerti, ternyata Neneknya yang sudah kehilangan penglihatannya masih bisa membacanya dengan jelas.

"Jangan kau ingat-ingat lagi masa yang sudah berlalu. Kau harus melangkah maju.."

Jeno hanya membisu dan menundukkan wajahnya. 

Childish (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang