Bagian 20. Pemadam Kebakaran

4.1K 570 37
                                    

Ini sudah kelima kalinya Mark melirik ke arah jam dinding di belakangnya. Dalam hati Mark menyesali keputusannya untuk tidak bolos jam pelajaran terakhir. Ia tak menyangka jika gurunya melanggar jam pulang sekolah hanya untuk menuntaskan bab pelajaran saat itu. Alhasil Mark hanya bisa berkomat-kamit di mejanya, mengabsen semua sumpah serapah yang ia ingat untuk guru dan juga dirinya sendiri.

Tak aneh jika Mark terkesan begitu terburu untuk pulang. Dia sudah memiliki rencana hari ini. Rencana untuk menuntaskan masalahnya dengan Si Manis. Lebih dari itu, Mark juga tak sabar ingin berjumpa dengan si manis itu.

Kali ini Mark kembali melirik jam dinding di belakangnya. Sudah lewat 15 menit dari jam pulang yang seharusnya. Hati Mark mencelos melihatnya. Baginya tiap menit sepulang sekolah sangatlah berarti. Semakin lama ia berada di kelasnya, makin berkurang pula waktu yang bisa ia gunakan untuk menemui Taeyong. Dan semakin sempit waktu yang ia punya, makin besar pula peluangnya bertemu dengan adik Si Manis yang galak, Jeno. Mark sangat tidak ingin bertemu Jeno untuk saat ini.

"Baiklah. Berhubung teman kalian di belakang tampak sudah tak sabar ingin pulang, kita akhiri saja pelajaran hari ini. Tapi, besok akan ada kuis tentang bab ini."

"Yes!"

Mark tampak tak menyadari pandangan teman-teman sekelasnya. Ia malah dengan girang memasukkan bukunya ke dalam tas dan membawanya dalam gendongannya. Ia sama sekali tak berpikir jika gurunya sedang menyindirnya, atau bagaimana tatapan protes dari teman-temannya. Di pikirannya hanya, "Si Manis~ Si Manis~"

Gurunya hanya menggeleng-gelengkan kepala dan meninggalkan kelas dengan gerutuan pelan. "Aku tidak dibayar untuk ini."

Suasana sekolah Tunas Bangsa sudah lengang, begitu juga dengan sekolah luar biasa di sebelahnya. Mata Mark tampak cemas ketika ia baru saja keluar dari gerbang. Ia khawatir jika Taeyong sudah dijemput oleh saudaranya yang galak itu.

"Ah! Itu dia!"

Hati Mark seketika berbunga-bunga ketika melihat Si Manisnya masih setia duduk di tempat favoritnya seolah memang menunggu kehadiran Mark. Mark yang sedang menyiapkan hatinya mengambil nafas dalam-dalam sebelum akhirnya kaki jenjangnya melangkah mantap.

Taeyong, seperti biasa, sedang menggambari halaman bukunya. Ia memang selalu seolah berada dalam dunianya sendiri ketika menggambar. Tak peduli lagi pada lingkungan sekitarnya lagi. Itulah sebabnya Mark masih bisa tersenyum canggung di dekatnya.

"Uhuk.."

Sebuah deheman klasik untuk membuat Taeyong menoleh ke arah Mark.

"Hai.." ucap Mark dengan senyumnya yang paling cerah dan tampan. Setidaknya itu yang ia pikir, karena tampaknya Taeyong tidak berpikir demikian.

Taeyong langsung mengerutkan tubuhnya, memeluk buku yang ia tadi ia gambari. Respon Taeyong seolah meruntuhkan tekad Mark. Melihat Si Manisnya masih takut padanya membuatnya sedih.

"Ja-jangan takut.. Aku.. enggak.. nakal.."

Mark mengeja kalimatnya perkata dengan harapan Taeyong dapat memahaminya.

Tampaknya usaha Mark mulai membuahkan hasil. Meski wajah Taeyong masih terlihat takut-takut, namun gestur tubuhnya menunjukkan jika ia mulai tidak begitu takut. Melihat respon itu, Mark spontan mendekatkan diirnya ke arah Taeyong.

"Engg~!"

Mark kembali menghentikan langkahnya ketika Taeyong mulai mengerang tipis, seolah tak ingin Mark mendekatinya. Taeyong juga menggeser lagi posisi duduknya menjauhi Mark.

Well. Jujur, Mark sakit hati. Mark merasa diperlakukan seperti penderita penyakit menular yang berbahaya. Tapi bukan Mark jika menyerah hanya karena hal 'kecil' seperti itu.

Childish (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang