Bagian 26. Sandaran

3.2K 507 41
                                    

"Apa uang pensiun nenek sudah habis?"

Jeno tertegun sesaat ketika neneknya mengatakan perihal itu.

"Masih Nek.."

"Apakah cukup sampai bulan depan?"

Ada jeda beberapa saat sebelum akhirnya Jeno menjawab pertanyaan itu.

"cukup Nek. Nenek tidak perlu khawatir."

Nenek mengangguk-angguk mengerti.

"Baguslah. Kalau begitu Nenek hanya perlu terjaga untuk beberapa minggu ke depan, bukan?"

Dan kini Nenek menepati janjinya.

***

Awan kelabu menggantung di langit dengan gemuruh menggeram rendah. Cahaya matahari senja yang biasanya mewarnai horison kota, kini tak tampak warna keemasannya. Hanya warna kelabu yang mewarnai suasana perkotaan yang masih riuh, padat akan manusia yang bersiap merayap kembali ke rumahnya yang hangat. Berbeda dengan yang Jeno lakukan saat ini. Ketika anak-anak sebayanya menerima telfon dari orang tuanya untuk segera pulang untuk makan malam, atau ibu-ibu yang sibuk menyiapkan makan malam, atau ayah yang memandangi jam tangannya, menanti kereta yang akan membawanya kembali ke keluarganya. Jeno di sini, menyaksikan salah satu dari sedikit anggota keluarganya berpulang ke tempatnya ia kembali.

Surai hitam legam Jeno bergerak lemah tertiup angin senja yang lembab, menyingkap sorot mata yang datar nan pilu. Tak ada air mata, tak ada isak tangis. Hanya kebisuan yang bisa Jeno sampaikan sebagai salam perpisahan pada jasad neneknya yang sudah tertimbun tanah basah. Tak jauh di tempat Jeno berdiri, terdengar isak tangis bibinya yang teredam oleh oleh tangan kurusnya. Pamannya hanya tampak termenung dengan salah satu tangan mengelus punggung istrinya, memberikan ketenangan yang ia sendiri sangat butuhkan.

Tampak jelas di mata Jeno, wajah rupawan nan dingin bibinya tampak cantik dalam balutan kerudung hitam, namun Jeno masih tak mengerti. Apa yang perlu bibinya tangisi? Ibu yang baginya hanya membawa kepahitan dalam rumah tangganya sudah pergi. Tidakkah seharusnya ia tersenyum sekarang? Jeno tak mengerti dan juga tak ingin mengerti.

Satu hal yang Jeno pahami adalah, bahwa kini satu-satunya wanita yang bisa Jeno anggap seorang pengganti sosok ibu itu sudah pergi. Dan satu hal yang membuat Jeno sesali adalah ia tak bisa mempertemukan Taeyong dengan neneknya di saat terakhirnya, bahkan di pemakamannya.

"Jeno.. berjanjilah, jangan sampai Yongie melihat Nenek pergi. Nenek tak ingin kepergian Nenek adalah hal terakhir yang Yongie ingat selama sisa hidupnya. Biarlah Yongie nanti.. mengingatku sebagai Nenek yang selalu tersenyum tanpa pernah marah.. dan Nenek ingin ingatan Yongie yang ceria ini.. yang menjadi kenangan terakhir yang Nenek bawa di alam sana. Berjanjilah Jeno.."

Jeno memejamkan matanya rapat. Kepalan tangannya bergetar ketika mengingat bagaimana dengan nafas tipisnya yang tersisa, neneknya mengatakan kata-kata itu untuknya. Bahkan di saat-saat terakhirnya, nenek selalu memikirkan Taeyong. Jeno tak merasa cemburu. Jeno bahkan merasa bersyukur karena kakaknya memiliki nenek seperti neneknya. Dan kini Jeno tak tahu lagi, siapa yang dapat mereka jadikan sandaran. Siapa yang akan mengatakan 'biarlah masa lalu berlalu seperti angin' ketika Jeno kembali terpuruk pada masa lalunya?

Jeno bahkan merasa baru kemarin melihat Neneknya yang dengan telaten menyuapi kakaknya. Rasanya baru semalam ia mendengarkan dongeng yang sama yang selalu nenek ceritakan padanya dan juga kakaknya sebagai pengantar tidur. Dan rasanya baru sekejap Jeno menikmati masa-masa indahnya bersama Nenek, ketika mereka bertiga tinggal bersama dalam satu atap.

Childish (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang