Bagian 27. Dilema

3.3K 487 40
                                    

Jeno terpaku. Keduanya terpaku. Mata mereka saling menatap satu sama lain, seolah memikirkan kata apa yang tepat untuk diucapkan. Jangankan memilih kata, Jeno bahkan tak mampu menemukan apa pun di benaknya saat ini. Kata-kata Jaemin menciptakan lubang hitam di pikirannya. Tak ada yang mampu Jeno lakukan selain menatap Jaemin dengan tampang bodohnya, dan itu membuat Jaemin tak mampu menahan senyumnya lagi.

"Ah, astaga.. apa yang kukatakan tadi? Ahahaha.. Seharusnya aku tak membahasnya lagi."

Dan Jeno seolah terbebas dari mantra kekosongan tadi. Berdehem pelan sebagai tumbal kecanggungannya.

Perlahan, akal sehatJeno kembali tersusun, menimang kembali apa yang Jaemin tadi katakan. Jeno takbisa bohong, bahwa ia pun masih menyimpan rasa terhadap Jaemin. Buktinya sajatanpa ragu Jeno memeluknya seolah menemukan pengganti sandaran hidupnya yang baru sajapergi. Itu membuktikan bahwa di lubuk hati Jeno, masih ada Jaemin di sana.Seorang pria manis nan ceria yang sempat menghiasi rutinitasnya yang membosankan danmelelahkan.     

Satu bintang berbinar temaram di langi gelap. Awan kelabu yang semula mendominasi langit malam, perlahan memudar. Hujan yang begitu lebat kini berangsur menjadi rintik-rintik lembut. Salah satu rintik itu jatuh dan membasahi telapak tangan yang tampak putih dalam penerangan minimarket itu.

"Ah.. Sudah mulai reda rupanya."

Jaemin menoleh ke arah Jeno. "Sepertinya sudah saatnya kita berpisah."

Jeno pun memaksakan senyumnya dan beranjak dari tempat duduknya. Matanya tampak tak lepas dari senyum Jaemin yang setia terlukis di wajahnya. Jeno heran, apakah tidak berat memasang senyum itu, mengingat bahwa Jeno mungkin baru saja membuka luka lama di hatinya.

Ketika Jeno masih belum kembali dari lamunannya, Jaemin sudah memeluknya hangat. Bukan dekapan yang erat dan posesif seperti yang biasa ia lakukan dulu. Pelukan ini hanya pelukan ringan nan hangat, layaknya seorang sahabat.

"Tetap semangat Jeno.."

Jeno tersenyum canggung dan membalas pelukan itu. Tidak lama, keduanya melepas pelukan mereka. Tentu bukan ide yang bagus jika mereka berpelukan terlalu lama. Keduanya masih belum berpikir untuk kembali seperti dulu.

"Baiklah.. Hubungi aku jika kau membutuhkanku. Atau mungkin untuk sekedar obrolan ringan.. aku selalu sedia 7x24 jam."

Jeno terkekeh. Jaemin masih tetap seperti dulu.

"Sekali lagi terima kasih Jaem.."

Jaemin mengangguk, dan dengan sebuah lambaian tangan, ia meninggalkan Jeno.

Melihat punggung Jaemin yang tampak semakin menjauh, Jeno akhirnya menghembuskan nafasnya kasar. Kecanggungan yang sedari tadi membelenggu hatinya akhirnya mencair sudah.

Ia masih tak percaya dengan apa yang ia alami hari ini. Semua berlangsung begitu cepat seolah tak memberi Jeno waktu untuk mencerna semuanya. Tapi setidaknya kehadiran Jaemin seolah mengurangi tekanan di hatinya. Meski kata-kata Jaemin sebelumnya sempat membuat Jeno blank.

Entahlah. Jeno tak ingin memikirkan masalah itu saat ini. Ia terlalu lelah dan ingin segera sampai ke rumahnya. Ia teringat akan dua tamu yang kini berada di rumahnya. Sungguh lucu jika sebelumnya Jeno tidak begitu mempercayai mereka, kini Jeno justru memasrahkan kakaknya kepada mereka. Harta Jeno satu-satunya.

Jeno pun mengeluarkan ponselnya, dan tampak beberapa panggilan tak terjawab dari Mark. Penasaran dengan itu, Jeno pun menghubungi nomor Mark. Tak lama terdengar suara Mark dari seberang ponselnya.

Childish (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang