Bagian 17. Mark

5K 595 59
                                    


"A-a-a-a-a-a-a-a'....."

"Spongebob! Bisakah kau berhenti tertawa?"

"Kau lihat gelembung itu Patrick?"

"Ya Spongebob.. itu jerapah..!"

Aku tak begitu menyimak kartun yang saat ini sedang tayang di depanku. Mataku justru lebih banyak tertuju pada pensil berwarna kuning yang sudah sependek telunjukku. Aku menatap heran ke arah gambar Spongebob yang memenuhi badan pensil itu. Begitu banyak wajah Spongebob yang tertawa memamerkan dua giginya, dan aku menemukan itu sedikit menakutkan. Aku penasaran apa dia menyukai Spongebob, sama seperti keponakanku yang saat ini tengah asyik menonton di sampingku.

"Om, lihat apa sih? Pensil kok dilihatin?"

Aku melirik sekilas ke arah keponakan yang baru duduk di meja Sekolah Dasar itu.

"Mau tahu saja kau anak kecil."

Tak perlu kulihat pun aku sudah tahu saat ini dia sedang menggembungkan pipinya merajuk. Aku memang tidak begitu suka anak kecil. Tapi beda dengan dia. Meski dia bertingkah seperti anak kecil yang cerewet dan mudah merajuk, aku tak merasa terganggu. Aku justru makin tertarik padanya.  Aneh memang.

"Huh! Padahal pensil seperti itu sih banyak di toko sebelah."

"Apa?"

Oke, aku mulai tertarik padamu sekarang.

"Ck! Itu.. Pensil itu banyak dijual di toko sebelah." Jawab keponakanku dengan malas.

"Di mana? Di depan warung kopi itu?"

"Heem.."

Tak mau buang waktu lagi, aku segera beranjak meninggalkannya dan mengambil dompet. Persetan dengan keponakanku yang berteriak memanggil-manggil.

'Jika dia membeli di tempat yang sama, bisa jadi aku bisa bertemu dengannya. Iya kan?'

***

"Hah? Kosong?"

Aku menatap wajah pemilik toko seakan tidak percaya.

"Iya. Tadi hanya tinggal 9 batang dan langsung diborong oleh seorang anak muda dengan adiknya yang kelihatan idiot."

"Dia tidak idiot!"

"Oh, kau mengenalnya? Mereka berdua sangat tampan. Bahkan adiknya yang kekanakan itu juga tampak seperti boneka. Mereka saudaramu?"

Merasa tak ada yang perlu kutanggapi, aku memilih untuk meninggalkan toko itu. Panas juga telinga ini mendengar bagaimana pemilik toko menilai Si Manis. Aku juga tidak begitu paham apa yang dialami oleh Si Manis, namun yang kutahu kata idiot tidak pantas ditujukan untuknya. Tidak bisakah kita menyebutnya  'menggemaskan' saja? Kuyakin setiap orang akan menyetujuinya.

Yah, pada akhirnya aku hanya bisa melayangkan benakku di malam yang lengang itu, tak begitu peduli akan ke mana kaki ini melangkah. Kurasa aku bisa mempercayainya untuk membawaku sampai ke rumah tanpa perlu kukomando lagi. Aku hanya ingin memikirkan bagaimana cara supaya perasaan yang mengganjal di dadaku ini segera hilang. Yang kutahu pasti, perasaan mengganjal ini akan sirna begitu Si Manis memaafkanku. Ya, Si Manis Yongie dan kakaknya, ah maksudku adiknya, Jeno itu. Tapi bagaimana? Bagaimana caranya aku bisa meminta maaf jika ia saja takut untuk kudekati? Haruskah aku mendekati Jeno dulu? Ah, kurasa itu bukan ide yang bagus.

Saat benakku sibuk berpikir, tak sengaja mata ini menangkap sosok yang kukenali. Ia tampak baru saja keluar dari minimarket dengan membawa kantung plastik yang seperti makanan ringan. Mata kami bertemu sesaat dan tiba-tiba saja aku menemukan sebuah ide!

Childish (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang