Bagian 16. Minta Maaf

4.8K 662 47
                                    

Jeno menundukkan wajahnya, tak berani menatap mata wanita paruh baya di depannya. Kelakuan kurang ajar Jeno tempo hari sukses menyeret Jeno ke ruangan Kepala Sekolah. Jeno awalnya tak mengerti kenapa masalah 'kecil' seperti itu dapat membawanya ke dalam masalah yang besar. Ia pikir hukuman yang ia akan terima hanya lari keliling lapang sebanyak 10 kali atau membersihkan kamar mandi. Sungguh, panggilan Kepala Sekolah berada di luar dugaan Jeno sebelumnya.

"Nah, Jeno. Saya mendengar laporan dari Bu Erin jika kamu meninggalkan kelas saat pelajaran beliau. Kenapa kamu melakukan itu?"

Jeno menghembuskan nafasnya perlahan kemudian menatap mata Kepala Sekolahnya sesaat. Mata kalem namun mengintimidasi. Jeno seketika menurunkan kembali pandangannya.

"Saya mohon maaf Bu.. Saya tidak bermaksud kurang ajar, namun saat itu saya ada keperluan yang sangat mendesak."

Jeno bisa mendengar suara 'Hmm' pelan dari Kepala Sekolahnya.

"Keperluan apa?"

Jeno terdiam lagi. Ia ragu apakah ia harus mengatakannya atau tidak, mengingat selama ini ia menyembunyikan fakta bahwa ia memiliki saudara dengan keterbelakangan mental. Menjalani hidupnya yang normal saja sudah cukup membuat Jeno sepi akan teman, apalagi jika teman-temannya tahu tentang kakaknya? Jeno sangat khawatir akan hal itu.

"Ehm.. keperluan keluarga Bu."

"Keperluan apa? Ibu ingin dengar secara detil keperluan apa, sampai-sampai kamu harus meninggalkan kelas selama pelajaran berlangsung. Kamu tahu kan, kenapa saya serius tentang ini?"

Jeno terdiam. Menunduk lebih dalam. Di balik meja kepala sekolah, tersembunyi tangan Jeno yang saling bertautan, mencoba menghangatkan jemarinya yang sedingin es.

"Kamu adalah siswa penerima beasiswa Jeno.. Prestasimu cenderung biasa saja dan juga tidak meningkat. Kamu tahu jika sedikit masalah saja bisa membuat beasiswamu dicabut. Apa kamu ingin beasiswamu dicabut Jeno? Apa kamu sudah bosan bersekolah?"

Jeno seperti tersambar petir. Ucapan kepala sekolahnya seolah menelanjanginya. Prestasinya di sekolah memang cenderung stagnan. Jeno bahkan tak pernah masuk dalam peringkat sepuluh besar di kelasnya. Entah karena memang IQ Jeno yang kurang tinggi atau memang karena Jeno jarang memiliki waktu yang cukup untuk belajar. Sebelum ada Bong-bong, buku Jeno adalah musuh bagi Taeyong. Taeyong akan terus merengek pada Jeno tiap malam, entah menemani bermain atau menonton tv. Ketika ada Bong-bong pun, Jeno masih tidak bisa fokus belajar. Kedekatan kakaknya dengan orang baru membuat pikirannya seolah tak mau diganggu untuk hal lain, terlebih diisi dengan pelajaran. Jika sudah seperti itu Jeno hanya bisa belajar keesokan harinya di sela-sela waktu luang sekolah. 

"Sekarang jelaskan dengan jujur. Ada apa kemarin?"

Jeno pun menelan ludah kasar dan merogoh ponselnya. Tak butuh waktu lama baginya untuk menunjukkan isi pesan Haechan padanya kemarin. Kepala sekolah tampak mengerutkan alis ketika Jeno dengan hati-hati menyerahkan ponselnya.

"Kemarin, Kakak saya dibawa ke kantor polisi Bu. Kakak saya terlibat perkelahian dengan siswa SMA Tunas Bangsa."

Tampak alis Kepala Sekolah semakin mengerut saat membaca pesan itu dan memandangi Jeno dengan raut yang sama.

"Ini? Kenapa temanmu tidak menghubungi orang tuamu?"

"Orang tua saya sudah meninggal sejak saya berumur 8 tahun Bu."

Kepala Sekolah tampak terkejut dan baru menyadari kesalahannya karena tidak mendalami profil siswa sekolahnya. Seharusnya ia mengetahui informasi ini mengingat Jeno adalah siswa penerima beasiswa.

Childish (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang