Ara mondar-mandir di dalam kamar sambil memegang ponsel. Setelah mandi dan beres-beres rumah, ia bingung sendiri harus mengerjakan apa. Harus kembali bekerja ke toko atau pulang ke rumah Reihan.
“Apa sebaiknya aku gak nemuin dia dulu ya?” Ara bertanya pada diri sendiri. “Lebih baik aku buka toko. Menyibukkan diri dengan bekerja. Tapi …?”
Ara kembali duduk di atas kasur, menggigit bibir bawahnya. Hal yang biasa ia lakukan ketika merasakan kegundahan. Ia memutar-putar ponselnya. Ingin menghubungi atau sekadar mengirimkan pesan kepada Reihan, namun ragu. Lebih tepatnya takut jika pesannya diabaikan.
Setelah bergulat dengan pemikirannya, Ara memutuskan mengirimkan Reihan pesan. Meminta izin untuk bekerja kembali ke toko.
Ara menarik napas panjang dan mengangguk pasti. Ia bergegas keluar setelah menyambar tas tangan.
*
“Selamat datang Nyonya Reihan …!” Arien juga ketiga teman kerjanya berseru menyambut kedatangan Ara.
“Apaan sih kalian. Ya Allah ….” Ara tertawa kecil. Dan mereka semua satu persatu memeluk Ara dan mengucapkan selamat.
“Selamat ya, sekarang udah jadi nyonya besar,” ledek Arien setelah melepaskan pelukan.
“Apa sih, Rien?” Ara mencubit lengan Arien yang justru disambut dengan gelak tawa dan ledekan-ledekan lain.
“Eh, tapi kok ke sini sendirian. Gak dianterin sama suami?” Arien mencolek dagu Ara. Menggoda.
“Em, dia lagi sibuk pindahan,” jawab Ara seadanya.
“Pindahan?”
“Iya. Mulai kemarin, aku diajak pindah ke apartemennya.”
“Lah kenapa? Terus rumahnya yang gedongan itu siapa yang menempati?”
“Ya Mbok Sri, Pak Hasan, dan lainnya. Mereka semua masih tetap tinggal dan bekerja di sana.”
“Aneh.” Arien menggeleng sambil nyengir.
“Namanya juga orang kaya. Duitnya lebih-lebih ya gitu,” sahut salah satu temannya. Dan langsung disambut gelak tawa oleh mereka. Sedangkan Ara hanya menggeleng biasa.
“Eh seriusan deh,” Arien kembali memulai, “Reihan kenapa lebih milih tinggal di apartemen daripada rumahnya. Rumah segede itu bukannya ditempati, malah ditinggal dan hanya ditempati para asisten. Aneh banget sih?!”
Ara tersenyum biasa namun kemudian menjawab, “Terlalu banyak kenangan di sana katanya. Makanya dia lebih milih tinggal di apartemennya sendiri.”
“Kenangan? Aneh. Kenangan itu ada di pikiran sama hati. Bukan di suatu tempat. Aneh banget sih.” Arien menggeleng dan memutar bola mata.
Ara justru sedikit tertunduk. Benar kata Arien. Kenangan itu ada di pikiran dan hati. Bukan di suatu tempat. Sejauh mana menjauh pergi, kenangan akan tetap bersama. Dan Ara pun merasa bahwa Reihan memilih pindah ke apartemen, karena tidak mau masalah dengannya diketahui oleh orang-orang rumah.
“Gak ada sesuatu yang lo sembunyiin, kan?” Arien memicingkan mata menatap curiga.
Buru-buru Ara tersenyum untuk meyakinkan bahwa dirinya baik-baik saja dan tidak ada masalah apapun. “Apaan sih, Rien. Udahlah jangan mikir aneh-aneh. Mending kita beres-beres, terus cari makan. Hari ini aku yang traktir. Kalian boleh beli makan apa saja yang kalian suka.”
Semuanya pun bersorak gembira, sambil menggoda Ara. “Cieee yang udah jadi nyonya besar.”
Ara tak menghiraukan, sambil tersenyum ia berjalan masuk ke dalam. Yang lainnya pun mengikuti dari belakang. Masih sesekali menggoda. Dan mereka akan tertawa saat melihat rona merah di wajah Ara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Meraih Cinta Bidadari Surga (Selesai)
SpiritualAraselly Salsabella adalah seorang gadis biasa dari Jawa, yang merantau ke Jakarta untuk bekerja juga berharap bisa meraih cita-citanya, kuliah dan menjadi seorang penulis juga guru. Orang tuanya mendesak agar ia segera menikah saja. Akhirnya Ara m...