Part 17

11.8K 872 9
                                    


Suasana di meja makan pagi ini berbeda dari biasanya. Reihan lebih banyak diam, tidak banyak kata yang diucapkan. Hanya menjawab pertanyaan, seperlunya saja. Sedangkan Ara, juga sama. Diam dan hanya sesekali melirik Reihan yang duduk di sampingnya.

“Ayah sama Ibu ndak bisa lama-lama di sini. Tadi, Arfan dan Farzan telepon, meminta ayah sama ibu untuk pulang.” Pak Rahmat memberitahu ketika selesai sarapan.

“Ayah sama ibu mau pulang kapan?” sahut Ara cepat.

“Rencananya nanti sore. Insya Allah,” jawab Bu Rusma.

“Kok cepat sekali? Kenapa gak besok-besok aja sih, Yah, Buk?” Ara memasang wajah memelas. Jelas terlihat bahwa ia masih menginginkan kedua orang tuanya menemani.

“Ndak bisa, Nduk. Kasihan adek-adekmu kalau ditinggal lama-lama. Lagian kamu di sini kan sudah ada suami yang akan menjagamu,” Bu Rusma menjawab. Ara justru sedikit menunduk malu dibanding menoleh menatap Reihan.

“Nak Reihan ….” Pak Rahmat menatap serius pada Reihan yang duduk di hadapannya. “Kini tanggung jawab Ara, ayah serahkan sepenuhnya padamu, sebagai suaminya. Kamu sekarang adalah seorang suami, seorang kepala rumah tangga. Pemimpin bagi isteri juga anak-anakmu kelak. Kamu lah yang berperan penting terhadap bagaimana arah rumah tanggamu kedepannya.”

Reihan diam mendengarkan. Begitu pula dengan Ara.

Pak Rahmat pun menatap Reihan dan Ara secara bergantian. Kemudian melanjutkan, “Pada dasarnya antara kewajiban dan hak suami istri itu adalah timbal balik. Apa yang menjadi kewajiban suami adalah hak istri. Dan yang menjadi kewajiban istri adalah hak suami. Jadi, banyak-banyaklah belajar untuk saling memahami satu sama lain.”

“Jika ada masalah, jangan pernah dipendam sendiri. Suami istri itu, saling melengkapi. Apapun keadaannya, harus bisa saling berbagi. Termasuk berbagi masalah. Jangan sampai masalah kecil, akan menjadi besar karena dibiarkan berlarut-larut tanpa ada penyelesaian.” Bu Rusma menambahkan.

“Satu hal yang paling penting!” Ayah menatap serius kepada Reihan juga Ara. “Jangan pernah mempermainkan tentang pernikahan. Ayah paling ndak suka dengan kata perceraian apapun alasannya! Dan untukmu Reihan, apapun kesalahan istrimu, jangan sampai terucap kata cerai. Karena kata cerai yang keluar dari mulut suami, sudah termasuk talak. Pandai-pandailah mengendalikan emosi. Paham?”

“Paham, Ayah.” Reihan mengangguk pelan. Sedangkan Ara mulai menoleh menatap wajah suaminya yang sedikit tertunduk. Menatap penuh tanda tanya.

**

Siang sebelum pulang, Pak Rahmat lebih banyak mengajak bicara pada Reihan. Memberikan nasihat-nasihat tentang pernikahan, menceritakan banyak pengalaman, dan tentu saja memberikan motivasi agar tidak terus larut dalam kesedihan.

Reihan diam mendengarkan, tak banyak bicara seperti biasa. Hanya menjawab ketika ditanya, itu pun tak seberapa. Seolah bukan Reihan yang biasanya. Yang biasa berdebat dengan ego pada pemikirannya sendiri.

Sedangkan Ara, juga diberi banyak nasihat oleh ibunya. Menghabiskan waktu siang dengan membicarakan banyak hal. Mendengarkan ibunya menceritakan tentang awal-awal pernikahan dulu.

“Apa gak bisa, Ayah sama Ibu tinggal di sini beberapa hari lagi?” pinta Ara ketika ayah dan ibunya hendak pulang sore itu.

“Kamu ini, apa ndak kasihan sama adek-adekmu?” Bu Rusma menepuk pelan lengan anak gadisnya yang memeluk erat seakan tak ingin ditinggalkan.

“Nanti kalau liburan sekolah, ayah akan ajak Arfan dan Farzan ke sini,” sahut Pak Rahmat yang dibalas dengan binar kebahagiaan di wajah Ara.

“Reihan, Ayah titip Ara.” Pak Rahmat menepuk pelan pundak menantunya. “Tolong jagalah dia dengan baik. Ingat, jangan pernah membuatnya bersedih hingga berlarut-larut. Apalagi kalau ayah sampai tahu kamu melukai dan membuatnya menangis, lebih baik ayah bawa pulang Ara saja nantinya. Paham?”

Meraih Cinta Bidadari Surga (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang