Part 15

12K 770 9
                                    

Meraih Cinta Bidadari Surga

Pagi ini di taman rumah sakit umum Purwodadi. Ara menemani ayahnya melatih kaki untuk berjalan. Pak Rahmat tidak mau lagi dipegang atau dibantu saat berjalan. Meski masih terpatah-patah dan kaku menggunakan kruk. Setidaknya beliau sudah bisa berjalan sendiri. Ara hanya berdiri memperhatikan.

Tiba-tiba ponsel di saku gamisnya berdering. Segera ia mengambil dan melihat siapa yang memanggil. Nomor yang tak dikenal. Ragu untuk mengangkat, namun akhirnya ia geser juga pada icon hijau.

“Hallo …,” suara Ara terdengar ragu.

“Assalamualaikum.” Terdengar suara seorang pria, terdengar sama ragunya.

“Waallaikumussalam.” Ara hanya menjawab salam, tanpa bertanya siapa yang menelponnya.

“Ini saya, Mbak. Pak Hasan.”

Ara menghela napas lega. “Ohh Pak Hasan. Ya Allah saya kira siapa.” Ia tertawa kecil membuat ayahnya menoleh. Bertanya dengan tatapan. Siapa? Ara hanya tersenyum.

“Iya Mbak. Hmm keadaan ayahnya Mba Ara bagaimana?”

“Alhamdulillah sudah membaik, Pak.” Ara tersenyum sambil melirik ayahnya yang kembali berjalan. “Ini saya sedang menemani ayah jalan-jalan di taman.”

“Alhamdulillah kalau begitu. Jadi, Mbak Ara bisa secepatnya ke Jakarta, kan? Soalnya, Eyang Ratih sedang sakit, Mbak.”

“Sakit? Eyang Ratih sakit apa, Pak?” Kedua alis Ara menyatu.

“Saya juga tidak tahu pastinya. Yang pasti sekarang ini, Eyang Ratih sedang dirawat di rumah sakit. Kabarnya beliau akan melakukan operasi.”

“Operasi?!” Ara menutup mulut dengan satu tangannya. “Astaghfirullahal adzim,” gumamnya. Pak Rahmat kembali menoleh menatap menyelidik.

“Iya, Mbak. Eyang juga tidak mau dioperasi sebelum Mbak Ara kembali ke sini. Beliau ingin sekali bertemu dengan Mbak Ara lebih dulu.” Terdengar suara bergetar. Entah karena kecemasan atau apa.

“Ya Allah. Eyang sakit apa sebenarnya, Pak? Kenapa harus sampai dioperasi? Operasi apa?” Ara justru mencecar dengan pertanyaan. Penasaran. Padahal selama ini, beliau terlihat baik-baik saja.

“Saya tidak tahu, Mbak. Yang tahu tentang penyakit Eyang hanya Mas Reihan.”

Ara menghela napas pelan, “Ya sudah, Pak. Terima kasih telah mengabari saya. InsyaAllah secepatnya saya akan kembali ke Jakarta.” Ia kembali melirik kepada ayahnya yang kini berjalan mendekat.

“Alhamdulillah. Terima kasih, Mba Ara. Ya sudah kalau begitu saya tutup dulu teleponnya ya. Assalamualaikum”

“Wa’alaikumussalam.”

“Ada apa, Ara? Siapa yang sakit?” Pak Rahmat yang telah berdiri di depan Ara, kini bertanya, setelah menutup teleponnya.

“Eyang Ratih, Ayah. Beliau sakit parah, harus operasi dan sekarang di rawat di rumah sakit.” Ara menggigit bibir bawah. Wajahnya terlihat cemas. Baru saja ia melewati ketakutan saat ayahnya di operasi dan kini malah mendengar kabar bahwa Eyang Ratih yang sudah dianggap sebagai neneknya sendiri, harus melakukan hal yang sama.

“Astaghfirullahal adzim. Semoga Allah mengangkat penyakit beliau.” Terdengar helaan napas berat dari ayah. Ada ketulusan yang terucap dari bibir beliau meski belum mengenal orang yang dimaksud.

“Aamiin. Kita duduk dulu di sana, Ayah.” Ara menuntun ayahnya menuju bangku taman terdekat, karena orang yang sebelumnya duduk di bangku itu telah pergi.

Setelah duduk, ayahnya pun segera bertanya, “Lalu bagaimana? Apa kamu akan segera kembali ke Jakarta?”

Ara yang duduk di sebelah ayahnya, mengangguk pasti. “Ara harus segera kembali ke Jakarta, Ayah. Katanya, Eyang Ratih tidak mau di operasi sebelum Ara datang.”

Meraih Cinta Bidadari Surga (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang