Meraih Cinta Bidadari Surga
Sekitar pukul delapan malam lebih, Reihan telah sampai di rumah. Dengan menenteng jas di tangan kiri, ia membuka kancing bagian dada. Gerah. Beberapa asisten yang melihat, menyapa dengan anggukan.
“Eyang …!” Seperti biasa, tanpa mengucap salam apapun, Reihan berteriak memanggil eyangnya setelah membuka pintu. Tak ada jawaban, ia kembali berteriak. Namun langkahnya langsung menuju meja makan.
“Eyang masih di kamar, Mas. Lagi ngaji. Mbok ya ndak usah teriak-teriak kenapa tho? Budek telinga Simbok dengernya!” gerutu Mbok Sri saat keluar dari dapur.
“Ssttt! Berisik!” Reihan menarik kursi dan segera duduk, “Reihan udah laper banget. Mbok Sri mending panggil eyang sekarang.”
“Iya, iya sabar!” Mbok Sri langsung melangkah pergi. Naik tangga menuju kamar Eyang Ratih.
Sambil menunggu, Reihan meneguk teh hangat yang sudah tersedia. Beberapa menit kemudian, Mbok Sri turun dari tangga yang kemudian disusul oleh Eyang Ratih.
“Sudah pulang ternyata! Eyang sampai pegel nungguin kamu pulang!” gerutu Eyang Ratih sambil berjalan mendekati.
“Eyang ini, bilang kalau Reihan sudah tua, tapi masih aja dikhawatirin kayak masih dibawah umur!” sahut Reihan tak mau kalah.
“Kamu ini kalau dibilangin selalu saja ngejawab!” Eyang Ratih geregetan mencubit lengan Reihan dengan keras. Ia meringis tapi tidak melawan. “Umur sudah tua, tapi kelakuan masih kayak anak kecil. Mending anak kecil kalau dibilangin nurut. Tidak seperti kamu ini! Ngeyelan!” tambah Eyang Ratih kemudian melepas cubitannya.
“Eyang ini gimana sih, salah terus perasaan. Dijawab salah. Gak dijawab dibilang gak sopan. Terus Reihan harus gimana?” bantah Reihan sambil mengelus lengan bekas cubitan.
Setelah menarik kursi dan duduk, Eyang Ratih kembali berkata, “Jamannya Eyang dulu, seorang anak kalau dinasehati orang tua, akan selalu diam dan menunduk. Anak-anak jaman dulu, patuh-patuh. Sama sekali tidak berani melawan. Tidak sepertimu ini! Selalu saja membantah!”
“Aduh Eyang … sudah beda jaman …!”
“Mau jaman dulu, mau jaman sekarang, atau jaman kapanpun, sama saja!” tukas Eyang Ratih cepat, “Memang kamunya ini yang selalu ngeyel! Ndablek!”
“Bocah ndablek!” sahut Mbok Sri dari dapur, yang diikuti cekikikan para asisten lainnya.
Reihan menoleh ke arah dapur, dan mendesah panjang. Tak memperdulikan.
“Udah ya, Eyang … sekarang mending kita makan. Reihan udah bener-bener laper. Reihan pulang mau makan nasi, bukan makan omelan Eyang.” Ia berdiri dan mulai menyendokkan nasi ke piring eyangnya.
Eyang Ratih menarik napas panjang sambil mengelus dadanya. Dan tak lagi berbicara. Berbicara dengan Reihan hanya akan menguras tenaga. Capek iya, ketemu ujungnya tidak. Percuma.
“Eyang pasti laper, kan? Seharian ngomel-ngomel melulu. Sekarang, makan yang banyak. Okay?!” Reihan mengerling dan menyendokkan lauk kesukaan eyangnya.
Eyang Ratih tak membalas. Hanya menggelengkan kepala.
Reihan pun segera menyendokkan nasi ke piringnya. Mengambil lauk. Lalu makan dengan lahapnya. Seolah omelan eyangnya tak pernah ada.
*
Satu jam kemudian, meja makan sudah bersih. Setelah selesai makan, Mbok Sri dan asisten lain segera membereskan.
Reihan bersandar pada badan kursi. Membuka kancing kemejanya lebih banyak. Lalu bangkit berdiri setelah meja makan telah beres.
“Reihan mau mandi dulu. Gerah,” katanya sambil meraih jasnya yang di letakkan di atas kursi kosong.
KAMU SEDANG MEMBACA
Meraih Cinta Bidadari Surga (Selesai)
EspiritualAraselly Salsabella adalah seorang gadis biasa dari Jawa, yang merantau ke Jakarta untuk bekerja juga berharap bisa meraih cita-citanya, kuliah dan menjadi seorang penulis juga guru. Orang tuanya mendesak agar ia segera menikah saja. Akhirnya Ara m...