Meraih Cinta Bidadari Surga
Di sebuah toko baju muslimah yang cukup besar di daerah Jakarta Barat, masih ramai keluar masuk para pengunjung. Para karyawan juga sibuk melayani pembeli.
Meski ramai dan sibuk, Ara sebagai karyawan kepercayaan pemilik toko, menerapkan bahwa sholat tidak boleh dinanti-nanti. Jadi saat adzan telah terdengar, para karyawan bergantian untuk melaksanakan sholat lebih dulu.
Wajahnya yang masih basah oleh air wudhu terlihat menyejukkan. Setelah sholat isya, Ara melanjutkan berdzikir walau sebentar.
Namun dirinya terpaksa menghentikan aktivitasnya, saat ponsel di dalam tas berdering. Merogohnya dan mengambil benda persegi panjang tersebut.
“Ibu?” gumamnya saat melihat nama yang memanggil, “Gak biasanya telp jam segini.”
“Assalamualaikum, Buk.” Ara langsung mengucap salam setelah sambungan telepon terhubung.
“Wa'alaikumussalam, Mbak. Ini Farzan.” Adik lelaki Ara yang berusia 12 tahun menjawab.
“Loh tumben kamu, Zan. Ada apa?”
“Anu, Mbak, itu Ayah … Ayah.” Terdengar suara gugup di seberang sana.
“Ayah kenapa, Zan?” tukas Ara cepat. Seketika kekhawatiran menyusup dalam pikiran. “Ada apa sama Ayah. Ngomongnya yang jelas!” imbuh Ara tidak sabaran.
“Ayah masuk rumah sakit, Mbak.” Suara tersendat.
“Hah?! Kenapa? Ayah kenapa, Zan?”
“Ayah keambrukan kayu, Mbak.” Lemah Farzan menjawab.
“Kok bisa? Yang jelas kalau ngomong, Zan! Bagaimana ceritanya?!” Nada suara Ara meninggi, ia mulai tak terkendali.
“Tadi sore rumah kita kebakaran, Mbak. Habis semua. Sedangkan Ayah masuk rumah sakit karena kakinya ketiban kayu saat ingin keluar dari rumah.”
“Ya Allah …,” Ara menutup mulut dengan tangan, menahan tangis, “Ibu dan Arfan bagaimana?” Suaranya kini lemah, tidak setinggi tadi.
“Ibu sama Arfan gak apa-apa. Sore tadi cuma Ayah yang di rumah. Sekarang ibu nangis terus nunggu Bapak di ruang ICU. Makanya Farzan yang nelp, Mbak.”
“Mbak akan usahakan untuk segera pulang,” kata Ara disertai kegugupan.
“ … tapi, Mbak. Rumah sudah habis terbakar. Dan sekarang, kita sudah tidak punya apa-apa. Bagaimana dengan biaya rumah sakit Ayah. Nanti kita juga akan tinggal di mana? Ibu juga nangis terus. Farzan bingung, Mba.”
“Kamu tenang aja, Zan. Kamu jaga Ibu, ya … nanti urusan biaya rumah sakit dan lainnya biar Mbak yang pikirkan.” Ara berkata meyakinkan. Padahal dirinya sendiri dalam kebingungan.
“Iya, Mbak.”
“Ya sudah. Kalau ada apa-apa, langsung kabarin Mbak lagi. Assalamualaikum.”
“Iya, Mba. Waalaikumussalam.”
Setelah sambungan telepon terputus, Ara bergegas melepas mukenanya. Dengan cepat memakai kerudung kembali, lalu keluar ruangan dengan menenteng tas.
“Arien …!” Ara berjalan cepat menghampiri sahabatnya itu yang berada di meja kasir.
Arien tidak terlalu menghiraukan, matanya fokus pada pembukuan.
“Kamu tolong jaga toko ya. Aku lagi ada urusan. Nanti toko tutup seperti biasa. Kunci kamu yang bawa dulu,” ucap Ara buru-buru.
Arien mendongak, mukanya mengernyit saat melihat wajah Ara yang pucat serta matanya yang memerah. “Elo kenapa, Ra?”
“Ayahku masuk rumah sakit. Rumahku kebakaran, Rien!” Ara menggigit bibir bawahnya, meraup wajahnya kasar. Bingung dan gugup.
KAMU SEDANG MEMBACA
Meraih Cinta Bidadari Surga (Selesai)
EspiritualAraselly Salsabella adalah seorang gadis biasa dari Jawa, yang merantau ke Jakarta untuk bekerja juga berharap bisa meraih cita-citanya, kuliah dan menjadi seorang penulis juga guru. Orang tuanya mendesak agar ia segera menikah saja. Akhirnya Ara m...