Part 2

17.6K 754 7
                                    

#Meraih_Cinta_Bidadari_Surga


Reihan merebahkan tubuh di ranjang kamar. Sama sekali tak ada yang berubah, masih sama persis seperti saat ditinggalkannya. Kamar dengan luar cukup besar itu berisi
ranjang besar dengan sprei warna biru tua motif mobil sport. Terdapat nakas dengan lampu tidur unik, lemari dari kayu jati
berukuran besar, sofa kecil warna putih, meja cukup besar berisi komputer dan beberapa buku tertata rapi di bawahnya, serta
kamar mandi dalam dengan ukuran cukup luas.

Niat ke kamar untuk mandi lebih dulu, kini ia urungkan karena kantuk yang menyerang tiba-tiba. Duduk di dalam pesawat selama berjam-jam, membuat punggungnya yang semula sakit langsung terasa nyaman saat menyentuh kasur empuk.

Mbok Sri masuk ke kamar membawa pakaian Reihan. Menggelengkan kepala saat dilihatnya Reihan yang tidur tengkurap masih mengenakan sepatu. Setelah memasukan
pakaian ke dalam lemari, Mbok Sri membantu melepaskan sepatu dan kaos kaki Reihan. Lalu keluar kamar dengan menutup pintu
pelan, agar tidak mengganggu tidurnya.

***

Di kota yang sama, Jakarta Barat, di sebuah kontrakan kecil, seorang gadis dengan wajah yang masih basah oleh air wudhu tengah melantunkan ayat suci alquran. Mukenah putih
membungkus seluruh tubuhnya dan uduk di atas sajadah, setelah salat Zuhur.
Ponsel di meja kecil berdering. Gadis tersebut
menyelesaikan bacaan terlebih dahulu sebelum menghentikannya, lalu meraih ponsel. Tertera nama Ayah di layar ponselnya. Tersenyum simpul, lalu menyudahi bacaan,
ditutup alquran itu lalu menaruhnya di meja.

“Assalamualaikum, Ayah.” Gadis itu mengucap salam pada seseorang yang menelponnya di seberang sana.

“Waalaikumsalam. Ini Ibu, Ra.” Suara wanita paruh baya membalas.

“Oh, Ibu. Maaf, Ara baru saja selesai salat dan membaca alquran. Jadi, lupa buat telepon Ayah.”

Gadis bernama lengkap Araselly Salsabella itu bekerja di sebuah toko baju muslimah milik Eyang Ratih. Hari ini adalah hari liburnya bekerja. Hal rutin yang tak pernah ia tinggalkan adalah menelpon orang tuanya di kampung saat libur kerja.

“Iya, Ibu tahu. Ibu sama Ayah juga baru pulang dari kondangan. Ayah juga sekarang lagi makan.”

“Oh, salam untuk Puji sudah disampaikan, Bu?”

Hari ini adalah hari pernikahan Puji, teman SD Ara. Tentu saja ia tidak bisa datang menghadiri, karena jarak yang begitu
jauh. Antara Jakarta dengan kampung halamannya di kabupaten Grobogan atau lebih dikenal dengan sebutan Kota Purwodadi itu
bisa menempuh perjalanan kurang lebih dua belas jam jika naik bus. Itu sebabnya Ara hanya menitipkan amplop untuk Puji. Tak
lupa juga meminta Ibunya untuk menyampaikan maaf pada Puji karena dia tidak bisa menghadiri pesta pernikahannya.

“Iya tadi sudah Ibu sampaikan. Katanya, kapan kamu nyusul?

Pertanyaan sama, dan hampir bosan Ara mendengarnya. Ara hanya menanggapi dengan tertawa kecil.

“Kamu tuh kenapa, sih, Nduk? Mbok ya pulang, nikah saja. Ibu sama Bapak juga masih bisa kerja buat kebutuhan sehari-hari.”

Ara memejamkan mata, menghela napas sejenak. “Ara belum siap buat nikah, Bu. Ara masih ingin kerja, masih ingin mengejar cita-cita--”

Belum selesai Ara bicara, ibunya menyahut cepat. “Cita-cita apa sih, Nduk? Kuliah? Mbok yawes toh, ndak usah diteruskan. Kalau memang ndak bisa, ya jangan maksa diri sendiri, sampai lupa kalau kamu itu sudah umur dua puluh tiga tahun, sudah seharusnya menikah. Lihat teman-temanmu, semua sudah
menikah, bahkan ada yang sudah punya anak dua.”

Meraih Cinta Bidadari Surga (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang