TEROR!! (3)

799 46 2
                                    

"Karena kau telah melihatku.."

tanpa membuka mulutnya, suara itu terdengar begitu jelas di telingaku. Saat ini yang sedang ingin kupertanyakan hanya kapan aku melihatnya, padahal baru sekali ini bertemu. Kuatur sedemikian rupa nafasku yang sempat tersengal terhimpit udara yang dihasilkan hantu ini. Mencoba menenangkan diri meski pikiran kini menerawang jauh. "Kau melihatku di atas gedung.." ucapnya kembali yang sontak membuatku membelalakan mata, yang di atas gedung kupikir hanya kunti dengan jarak jauh kulihat mengenakan gaun putih. Dan sekarang ada sosok lain mengenakan kimono putih menatapku dengan lekat. Lidahku kelu, ingin berteriak pun percuma. Kakiku seolah lumpuh dan tak bisa digerakan untuk segera berlari. Mataku spontan tetap beradu pandang dengan si hantu Jepang ini, terbius oleh segala energi membara dari amarah yang dihasilkannya.

"Aiyya" dengan ragu aku mencoba membathin mengucap namaku sendiri dengan niat agar i'tikad baik bisa dimengerti olehnya. Aneh, setelah mengucapkan nama tubuhku melemas kembali, tak sekaku beberapa detik lalu. Kakiku kembali bisa digerakkan, lidahku kembali seperti normal. "Aiyya" kuulangi mengenalkan diriku sembari mengulurkan tangan kanan. Tidak ada jawaban atau sambutan jabatan yang kuterima, masih tetap dengan tatapan tajam ke arahku meski berkurang namun cukup membangkitkan perasaan takut dalam dada. "Ai" sepatah kata akhirnya ia ucapkan, entah dia sedang memanggilku atau menyebutkan namanya. "Cinta?" ucapku serampangan karena sepengetahuanku dalam bahasa Jepang, kata 'Ai' berarti cinta. "Aishin" ulangnya kembali melengkapi puzzle yang sempat berantakan tadi, suasana setidaknya lebih cair dari pertama kali ia hadir dan membuat teror. "Adakah yang bisa kubantu Aishin?" tanyaku tanpa basa basi, agar semua cepat selesai saja. "ciih, pribumi sepertimu sama dengan pribumi yang lain. Hanya mampu melihat tanpa membantu" jawabnya sarkas membuat tanganku spontan mengepal, tak bisakah ia bicara dengan sopan meski aku tlah berusaha untuk selembut mungkin menghadapi sosok yang keras kepala ini.

"Kau mengenalkan dirimu menggunakan nama yang ingin disamakan dengan nama orang-orang elite Nippon? Tidak sopan sama sekali" sembari berdercak kini ia kembali berbicara kasar. Siapa yang tidak sopan sebenarnya, aku yang sedari tadi berusaha menjaga mulut agar tak lantas mengumpat keras atau dia yang menjaga gengsi dengan segala umpatan yang keluar? "Ya, namaku Tsuraiyya Aghni, ada yang salah? Teman-teman mengenalku dengan nama tersebut, apa masalahmu sekarang hah?" tanyaku dengan hati yang masih cukup menahan panas emosi "pribumi seperti kalian tidak pantas memakai nama itu" dengan gaya angkuh ia berkelakar sembari memalingkan wajahnya memperjelas luka leher yang masih menganga itu, tangannya dilipat di dada seolah sedang mengagungkan sesuatu yang penting menurutnya. Baru mulai ingin membuka mulut dan menjawab ucapannya ia memotong dengan tegas "itulah bedanya kalian dengan kami, kalian bangga menggunakan nama bahasa asing sedang kami merasa bangga dengan bahasa kami sendiri, bahkan merasa rendah jika harus menggunakan nama dari bahasa negeri lain apalagi yang statusnya lebih rendah seperti kalian" andai ia masih berstatus sebagai manusia, mungkin saat ini tanganku sudah melayang menamparnya. Entah, rasa takut yang sedari tadi menggelayuti secara tidak langsung memudar begitu saja meski masih sangat jelas terlihat bagaimana wujudnya ditambah perkataannya yang begitu kasar, kurasa pula hawa negatif tentang amarah atau rasa apapun darinya juga berangsur menghilang. "Okay, namaku Aiyya Hd Hairiyah. Sebuah nama pemberian ayahku yang sangat kubanggakan, tentang cinta, kebaikan dan hidayah seorang perempuan" jawabku merendah mencoba mengikuti alur permainannya yang entah akan dikemanakan. "Kau bilang bangga? Tapi kemana-mana yang kau pakai bukan nama tersebut. Memalukan!" dan pertama kali ada hantu yang datang semaunya, ikut sesukanya lalu seenak jidat menghinaku beberapa kali dengan sarkas. "Setiap orang memiliki alasan masing-masing untuk melakukan suatu hal termasuk tentang bagaimana mereka mengolah identitas, nama asliku dulu selalu kupakai sampai suatu ketika seseorang tak bertanggung jawab menggunakan nama itu untuk mengobrak-abrik privasiku. Kini aku hanya ingin mereka semua mengenalku dengan nama Aiyya. Ada yang mau kau debatkan lagi?" lanjutku sembari menatap lekat wujudnya yang kini semakin canggung menampakan wajahnya langsung dihadapanku. Ada rasa kesal yang kurasakan darinya, namun ia begitu congkak mengakui kekesalannya padaku "Nama pribumi?" lirihnya yang kini membalikkan kembali pandangannya pada tiap-tiap sudut kosong di kamarku.

"Aku benci pribumi!!" dan wusshh.. dia kembali berlalu menghilang dari hadapanku. Salah satu hal yang paling kubenci adalah ketika kita tlah berbaik hati menyapa, berbicara, menjelaskan panjang lebar namun ditinggal begitu saja tanpa merasa dosa. Kayak ada pedes-pedesnya gitu. Aishin, nama yang terlalu anggun untuk seorang pemarah seperti dia. Kira-kira cerita unik apa yang ia punya hingga selalu menyebut tentang keburukan pribumi. Berkata bahwa merasa rendah dengan bahasa sini namun ia bisa berbahasa Indonesia lancar seolah sempat tinggal beberapa waktu di tanah air ini. Selama perjalananku bersama cerita-cerita masa lalu 'mereka' bagiku dia yang paling susah untuk diluluhkan atau sekedar diusir jika memang tiada kepentingan. Hanya saja, ia masih terus menterorku bahkan sampai tak kurang dari seminggu.

Hai-hai readers..
Karena kemarin sempat telat lagi untuk update, jadi untuk menebusnya author bela-belain di tanggal merah ini untuk publish kelanjutan ceritanya.
Jadi, jangan lupa tinggalkan vote and comment yak.

BERCAK MASA LALU (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang