MARANTI (1)

960 49 2
                                    

Sampai akhirnya aku malas untuk bercumbu tiap waktu dengan kata-kata. Aku jenuh memandangi layar bisu yang selama ini menemani hari-hariku. Orang lain bilang aku tidak waras karena dianggap cuma bisa pacaran dengan laptop, kuper karena kurang bergaul dan sebutan lainnya untuk seorang kutu buku atau sekarang bisa dianggap sebagai kutu laptop kali ya. Malam ini mood berantakan, banyak hal yang membuatku enggan tersenyum untuk alasan apapun, sampai kemudian sengaja iseng mengajak teman kecilku untuk bertemu dan sekadar bercengkrama menikmati waktu santai malam hari. Kuharap dengan bertemu dengan teman, beradu cerita, saling melempar senyum dan riuh dalam tawa akan sedikit mengobati mood yang acak.

Aku heran, bahkan dikeramaian saja 'mereka' masih saling mengawasi tanpa jengah. Menunggu di pelatar jalan seolah tak punya pekerjaan saja. Ah, iya juga sempat berpikir apakah di alam 'mereka' juga bekerja seperti mengantor, mengemudi atau mungkin ada juga ojek online? Tidak, bukan bermaksud apapun. Hanya saja pikiranku kadang terlalu jauh membayangkan hal unik tentang 'sebelah'.

Namanya anak gadis kalau ketemu teman pasti riuh, 2 orang berasa sudah bikin pasar di cafe. Tiada hal serius yang kami obrolkan, lebih mengarah pada kegiatan masing-masing atau juga kenangan masa lalu ketika masih menjadi anak-anak bandel penghuni jalan raya. ­hihihihi... bersamaan dengan kami yang saling melempar candaan, terdengar bersama suara tertawa perempuan yang bukan cuma aku yang mendengarnya, temanku yang juga masih asik menghabiskan makanan yang kami pesan sembari menonton youtube pun terperanjat kaget. "Ah, suara tv" jawabku lega ketika tahu ada yang sedang menonton acara horror entah itu apa. Tapi tidak juga, perasaanku mengatakan ada yang sedang mengawasiku sekarang. Atau mungkin sedang ingin menyampaikan sesuatu. Kutepis segera prasangka burukku ini, aku tidak mau merusak suasana gembira yang sedang tercipta saat ini, aku hanya ingin fokus membahagiakan diriku sendiri, keluar dari hiruk pikuk tugas menjemukan yang sering membuatku susah melakukan hal menyenangkan.

"Besok lu masuk kerja" tanya temanku ketika suasana mulai berangsur hening. "Iya, gue cuma libur hari Minggu doang. Tanggal merah saja kadang nggak libur, namanya juga kerja bidang pelayanan masyarakat ya beginilah. Mau ngeluh juga kesannya lebay amat. Satu-satunya cara biar nggak jenuh ya kuisi dengan menulis beberapa cerita, ada yang ku publish ke wattpad ada juga yang ku ikutkan event. Kalau ikut event lumayan sih, bisa terbit gratis. Kalau elu sudah nggak balik lagi ke Surabaya? Suami lu sendirian dong disana." Sembari sekalian curhat, aku pun tak lupa bertanya tentang keadaan teman kecilku ini yang baru saja pulang kampung dari Surabaya tempatnya merantau bersama suami dan putra satu-satunya. Sering ketika aku hendak pergi dengan temanku ini, ibu tak memperbolehkanku dengan alasan dia telah menikah dan akan tidak enak ketika suaminya melarang, tapi ibu tak pernah tahu jika aku sudah terlalu dekat dengan temanku dan tidak ada yang menjadi masalah apalagi perihal status. Sejak masa kecil, hingga ia sudah menikah dan punya keluarga, kami masih bisa menikmati waktu bersama apalagi keluarganya sudah akrab denganku. "Suami sendirian di Surabaya, aku sama anakku di desa saja. Entah kapan balik kesana lagi, ya sekarang Alhamdulillah sejak resign dari pabrik tempat kita kerja dulu suamiku dapat pekerjaan lebih baik lagi. Elu, kagak bosen nulis mulu, bukannya tambah bikin jenuh ya?" belum kujawab lagi, ekor mataku melihat siluet putih berdiri di ujung pintu keluar menghadap ke arah kami. Shiit! Rutukku dalam batin, mau pura-pura cuek juga dia tetap disana. Meski diam saja tapi cukup menyeramkan ketika kita sedang berbicara namun sesuatu yang asing nyaman mengawasi kita. "Woy! Kesambet lu, diem-diem bae" seingatku, aku hanya sekedar melirik sebentar kenapa ini orang malah teriak-teriak nggak jelas ya. "Santai bro, kek ada kunti disitu" jawabku santai karena memang dia sudah tahu seluk beluk keadaanku sekalipun tak pernah bercerita panjang lebar. "Yang tadi ketawa jangan-jangan? Tapi tadi kayaknya suara tv deh, ngapa beneran ada yak." Ini yang kusuka darinya, meski jujur kubilang apa adanya dia sama sekali tidak ilfeel atau takut, kapan lagi dapat teman pengertian seperti ini. "Entah, pingin mie judes kita kali" candaku menghadirkan riuh menghilangkan ketegangan yang sempat menghampiri kami sejenak. "Yuk pulang, sudah jam 9 malam cuy. Ini cafe juga mau tutup kayaknya" ajakku padanya yang sebenarnya masih asik numpang wifi untuk sekadar menonton channel youtube. "kalau bukan kau yang mengajak pulang, pasti aku sudah menolak mentah-mentah. Dari dulu kau tak pernah membiarkanku bahagia menikmati filmku" konyol, ucapannya membuatku geli sendiri. Padahal seingatku dulu kita menghabiskan waktu di jalanan bersepeda sembari mengganggu orang pacaran di tepi gang sepi, entah dengan melempari batu atau yang paling extrem melempar dengan petasan. Toloonng.. lirih suara menyapaku ketika hendak melajukan kendaraan. Sakiit... kumohon jangan sekarang, belum cukup aku jadi tempat pencarian hantu hilang kini apakah harus jadi klinik kesehatan hantu pula? Mataku yang lain tak sengaja menangkap sosoknya yang sendu, menunduk dengan rambut sebahu yang dibiarkan terurai ke depan muka. Tak lucu jika rambut itu disingkap dan menampilkan wajah seram. Tidak, tidak. Aku tak ingin membayangkan itu. "Langsung pulang kan kita?" tanyaku pada temanku yang tak kunjung membonceng dan masih asik memainkan ponselnya. "Ke ATM dulu, aku mau ngambil uang. Terus nanti ke minimarket sekalian ya. Mau beli susu" berasa jadi ojek malam ini. "Berangkaat..." ucapku dengan nada bak sinetron tukang ojek pengkolan.

Setelah semua urusan selesai, akhirnya kami pulang ke rumah masing-masing. Belum juga masuk ke kamar. Seorang perempuan hadir kembali. "Baiklah, tunggu aku bersih-bersih badan dan kamar dulu setelah itu, mari kita bicarakan apa maumu ya cantik" seolah mengerti dengan apa yang kubicarakan dalam batin, siluet perempuan itu menghilang begitu saja. Semoga dia benar-benar muncul dalam keadaan cantik, tidak lucu ketika aku memanggil cantik namun sebaliknya. Semoga pula kehadirannya tak membuatku merasa takut hingga terbawa mimpi. Sarah juga tak disini, semoga dia bisa bebas bercerita jika memang akan menceritakan sesuatu.

Kurapihkan seluruh kamar tidur, bersiap diri untuk beristirahat. Aku melupakan satu hal, perempuan itu! Entah mengapa ia tak muncul juga. Bahkan hingga selesai merapikan kamar yang lumayan merepotkan ini. "Hai" sapaan ringan dari seorang perempuan asing berdengung di telingaku. Lantunan nada sedih mengharu biru memenuhi indra pendengaranku, suara tabuhan gamelan dan riuh orang tertawa yang seolah tengah bergoyang diantara kesedihan yang ditampilkan nada pengiringnya. Masih kunikmati lagu sendu itu, terbius oleh kesyahduan dalam tiap petik irama yang dihasilkan. Hampir 5 menit pendengaranku disajikan oleh sesuatu yang sangat jarang kutemui. Seketika semua suara berhenti ketika kupejamkan mata dan melihat gadis muda ada tepat di depan pintu kamarku. 

"Hai" lagi-lagi sapaan asing darinya keluar "Aku melihatmu" harusnya aku yang berucap demikian pada sesuatu yang tak terlihat. Kenapa malah dia yang menyapa semacam ini berasa gue yang jadi hantu kan kalau begini. "Aku melihatmu dan merasa kau sering mendengar kisah tentang kehidupan masa lalu kami" well, sepertinya aku mulai terkenal ya di dunia sana, lol. "Jadi, apakah aku boleh bercerita padamu juga?"  senyuman yang diperlihatkannya justru membuatku seperti merasa ada yang aneh. Seolah menggambarkan tentang keadaan dimana ia terbiasa dalam senyum keterpaksaan.  "Aku Aiyya, salam kenal. Boleh kutahu namamu?" Yang kurasa hawanya begitu hangat namun dalam balut kesedihan, kesepian, ketidakpuasan, kepasrahan dan keputusasaan yang amat dalam. "Namaku Maranti, dan aku seorang penari" pantas saja sambutan awal perkenalan dengan iringan musik, ternyata dia seorang penari toh. "sekali lagi aku seorang penari bukan penjual diri seperti yang disandangkan orang-orang untuk penari sepertiku ini. Aku bekerja untuk menghibur para penikmat budaya, bukan untuk para pemuja nafsu belaka. Dari musik dan tarian inilah, aku merasakan kebebasan yang tak pernah kurasakan sepanjang hidupku" belum juga memulai bercerita, batinku sudah bergetar saja mendengar penuturan tentang pekerjaannya. Apa yang dia alami sampai harus merasa bahwa dirinya tidak bebas. "Maranti, aku akan mendengar ceritamu dengan setia hingga akhir. Berceritalah"

Hai readers, maaf author baru kembali lagi ya. Menulis kisah Maranti ternyata cukup menyita waktu, karena author lebih banyak baper duluan sih. Jadi, sering berhenti dan nggak selesai-selesai. Dan ya, ketika author denger nada di telinga itu hanya semacam instrumen musik sendu saja. Lagu di atas kebetulan tanpa sengaja ke play di youtube esok hari saat author kerja, pasca bertemu dengan Maranti pada malam harinya. Musik pengiringnya kurang lebih hampir sama dengan yang author dengerin, isi lagunya pun menggambarkan bagaimana susahnya menjadi Maranti saat itu. Lagu itu diciptakan baru saja sekitar tahun  2003 dan baru dirilis ke publik tahun 2013  dari seniman Purbalingga. Well, anggap saja lagu tersebut menjadi pemanis cerita.

Demi menebus kesalahan author, Insyaallah hari ini akan terbit 2 part sekaligus. Impas kan?

Author'Aiyy

BERCAK MASA LALU (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang