MARANTI (7)

584 48 1
                                    

"Mbak sudah pulang? Ah, kami baru saja membelikan mbak makan. Mari makan bersama" tawar Ellis sok ramah padaku tanpa merasa berdosa sedikitpun, segera kutepis tangannya yang menarikku ke arah meja. Sungguh, aku tak bisa membendung kekesalanku pada mereka. Sirna semua perbuatan baik mereka di hadapanku. "Ada apa mbak? Tenang saja, kami melebihkan makanannya kok buat mbak. Itu masih banyak" masih dengan tingkat kepercayaan diri berlebih, Ellis dengan kukuh mengajakku duduk di samping mas Pram yang sedang tersenyum datar. "Kalian meninggalkanku? Sendirian diantara orang-orang yang bernafsu. Sedang dengan enaknya kalian melenggang pergi membawa hadiahku, seolah aku hanya barang jualan saja. Ditinggal ketika laku" ucapku dengan terisak, namun tetap menjaga gengsi agar tak sampai jatuh air mataku di hadapan kakak beradik yang masih tenang menyantap makanan meski aku sedang butuh penjelasan. "Kami tidak tega mengajakmu pulang, kau begitu asik menari karena aku ingat bahwa kau tak pernah sebebas itu ketika di desamu dulu. Harusnya memang kami tak membawa apa yang menjadi hak mu, tapi panitia memaksa kami untuk membawanya. Niat kami hanya ingin memberikan kejutan dengan membeli beberapa makanan enak untukmu. Ya, tapi apa daya justru di matamu ini adalah hal fatal dilakukan" bisakah seharusnya dia tak berbicara saja, rasanya sepatah kata yang diucapkan selalu mampu mematahkan segala emosi yang sempat bersarang dalam dada. Pria asing ini, sungguh. Perasaan apa yang sebenarnya kurasa. "Apa kau masih marah?" dengan tenang mas Pram mendekatiku, dengan jarak sejengkal antara hidungku bertemu dengan hidungnya. Mataku spontan tertunduk tak berani menatapnya, namun tangannya begitu lihat mengangkat daguku hingga kami saling menatap. Jantungku lebih kencang berdetak, hampir terlepas dari tempatnya. Darahku mendesir panas tak karuan, membuncah ke arah otak. Matanya membuatku beku, tersihir oleh segala pesona dari balik pupil coklat itu.

"Aku bertanya padamu, apa kau masih marah Rantiku?" tidak, tolong jangan sekarang. Nafasku tersengal hanya mendengar dia memanggilku sebagai kepunyaannya. Emosi yang sempat kukeluarkan karena tindakan tak sopan para warga seolah telah enyah bersama waktu yang terkesan berjalan sangat lambat. "a.. aku tidak marah" dengan terbata aku harus tetap menjawabnya, sebenarnya hati masih ingin diperlakukan demikian, namun aku juga harus menjaga gengsi. Segera kupalingkan wajahku, menyingkir darinya beberapa langkah. Kembali berpura-pura menjauh sekalipun ingin mendekat. "Baiklah, sekarang makanlah. Apa aku harus menyuapimu?" lagi-lagi, apakah dia tidak bisa berhenti untuk menggodaku? Tak tahukah ia jika kini rasanya aku sedang ingin melayang, khawatir saja akan menembus atap yang tak seberapa tinggi ini jika ia terus menggodaku.

Gusti, sebenarnya ada sisi lain hatiku yang mengatakan bahwa mereka berdua hanya sedang memanfaatkanku, tapi kenyataannya keluarga ini tak pernah berlaku demikian. Bahkan laki-laki yang Kau kirim untuk menyelamatkanku, kini selalu menyediakan waktu untuk sekedar melihatku bernari di senja hari sepulang ia berjualan. Apakah masih harus aku mencari motif mereka menolongku jika aku tengah nyaman berada diantara mereka dan desa ini. Sekalipun ketika menari, masih saja ada orang yang tak sopan menarik selendangku dan mengajakku menari bersama lalu tanpa ragu mendekapku. Aku selalu risih dengan hal ini, namun ketika aku pulang dan menceritakan pada mas Pram, dia selalu bisa menenangkanku. Seolah aku tak perlu khawatir pada hal-hal lumrah yang menurutnya wajar dialami oleh seorang penari sepertiku. Sedikit kesal memang, bahwa seni diartikan lain oleh orang-orang berotak kotor. Rasanya aku ingin berhenti saja, namun aku tak bisa karena jiwaku telah terpantri pada musik dan tarian yang sejak dini kugeluti.

Setidaknya selama 2 tahun aku di desa ini, aku masih bisa menjaga mahkotaku. Sekalipun tubuhku tanpa sengaja tersentuh tangan kurang ajar laki-laki binal. Dan sampai sedemikian lama, bodohnya aku yang tak pernah mempertanyakan. Mengapa mas Pram dan Ellis selalu meninggalkanku ketika pentas dan membawa bayaranku sebelum aku menerimanya. Juga perihal bayaran yang tak pernah diberikan padaku, mas Pram hanya memberiku kepingan emas ketika aku benar-benar membutuhkannya. Jadi, apakah aku harus kembali mencari modus mereka dalam menolongku? Atau kubiarkan saja semua mengalir apa adanya.

To be continue..

Yeay, kisah ini masih terus berlanjut ya. Jangan lupa tinggalkan vote and comment. Maaf masih belum bisa terlalu panjang juga update nya. Author masih sedikit sibuk, jadi maklumi yak. Terima kasih

Author'Aiyy

BERCAK MASA LALU (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang