MARANTI (5)

625 46 2
                                    

Keluarga baruku benar-benar mengurusku dengan baik selama aku masih terluka, mereka tidak segan untuk melayaniku bak putri kerajaan. Sungguh, hal semacam ini tak pernah kudapat dari keluargaku yang dulu. Bahkan ketika aku sakit parah, mereka masih menyuruhku memungut kayu atau justru memberiku obat sebuah hinaan berkepanjangan. Mungkin setiap orang punya caranya masing-masing dalam bersikap, dan inilah faktanya bahwa aku mulai nyaman dan akrab dengan keluarga ini.

Suatu hari, di desa yang kutinggali sekarang ada festival rakyat dimana banyak warga yang ikut serta di dalamnya. Terlebih ada hadiah kepingan emas bagi yang menampilkan sesuatu yang menarik. "Ellis, mbak boleh ikutan itu?" sembari menunjuk ke arah kerumunan orang yang sedang menyimak pengumuman dari seorang petinggi desa di area pasar tempatku berbelanja kebutuhan makanan bersama Ellis. "Boleh banget kok mbak, malah sebenarnya Ellis berharap mbak bersumbangsih dalam kegiatan tersebut, tapi Ellis segan buat ngomong langsung sama mbak" jawaban Ellis membuatku tersenyum, sudah lama aku tak menari. Mungkin ini waktunya untuk kembali mengibaskan selendang yang sempat tergantung beberapa waktu terakhir.

"Mbak mau nampilkan apa disana?" tanya Ellis kembali, membuatku sebenarnya agak ragu untuk mengungkapkan. "Mbak mau nari" ada senyum yang lebih merekah dari bibir Ellis, entah mengapa dia seperti berekspresi telah berhasil menangkap sebuah buruan. "Kalau begitu, mari kita siapkan mbak mulai dari sekarang. Karena acara itu sudah berlangsung nanti malam. Biar abang Pram yang mendaftarakan mbak ya, paling nanti sore abang sudah pulang." Dengan tergesa, ia menarik tanganku berlari sedikit terseol kembali ke arah rumah. Sungguh, tak seharusnya aku curiga atau berpikir buruk tentang mereka. Mereka hanya senang membantuku, tak ada yang lainnya.

"Lihat mbak sekarang, begitu cantik bukan? Emak dulu seorang penari desa juga mbak, jadi masih ada beberapa baju khusus menari yang Ellis simpan sebagai kenang-kenangan. Maklum, Ellis tidak bisa menari seperti emak jadi ya cuma buat disimpan rapi aja" dari kaca riasku, aku melihat guratan sendu dalam matanya yang tengah asik merapikan sanggulku meski tatapannya sedang kosong. "Kenapa kau tak belajar menari?" tanyaku sedikit gila, padahal sudah tahu masalah utama Ellis. "Kan mbak tahu sendiri, kaki Ellis pincang sebelah. Mana ada penari yang pincang mbak? Makanya pas tahu dari abang kalau mbak itu seorang penari, Ellis begitu bahagia. Seolah emak kembali ke keluarga kami yang sepi" sekalipun ia tersenyum, ada embun bening dari matanya yang tak bisa disembunyikan. Rasanya gatal ingin bertanya sebenarnya apa alasan kedua orang tuanya meninggal, namun kuurungkan karena itu bukan hakku bertanya. Kasihan juga jika aku harus mengungkit masa lalu yang sudah hampir mereka lupakan. Apapun itu, kini yang kuinginkan hanya menjadikan mereka sebagai prioritas utamaku.

"Luar biasa sekali." Tiba-tiba dari arah pintu, suara mas Pram menggema di sudut kamar. Memuji penampilan baruku, seketika itu pula kurasakan panas pada pipiku. Ah, mungkin sekarang sudah memerah seperti tomat yang direbus. "Apa kau sudah siap cah ayu? Mari berangkat bersama, desa ini lama tak ada yang menari lagi setelah beberapa tahun lalu. Jadi, tunjukan bahwa sebagai pendatang kau juga mampu membuat seluruh masyarakat akan menghargaimu." Apa mereka benar-benar mempercayaiku, aku takut jika aku justru mengecewakan orang yang susah payah membuat semangatku membuncah.


Lama lu thor, mana ceritanya sedikit banget lagi. Biasanya juga agak banyakan!

Huaaa.. maaf ya readers, author khilaf karena suatu hal yang membuat author susah meneruskan cerita lagi. Sebenarnya author ingin menggabungkan part ini dengan part selanjutnya, tapi karena terlalu panjang. Jadi author crop sebagian deh, dan bakal author jadiin untuk part selanjutnya. Eits.. jangan khawatir dulu yak, karena part selanjutnya akan author update secepatnya. Kalau nggak hari ini ya besok. Jangan lupa tinggalkan vote and comment guys!

see you

author'aiyy

BERCAK MASA LALU (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang