MARANTI (9)

680 57 9
                                    

Seperti biasa, aku pulang di pagi buta karena memang acara itu diadakan saat malam hari. Disana tingkah laku warga cukup sopan, mereka menikmati tarianku dan berjoget sesuka hati di depan panggung tempatku menyibak selendang. Cukup terkejut, ternyata masih ada yang menghargai seorang penari sepertiku dengan mencegah penonton untuk naik dan berjoget bersama. Batinku mulai menampakkan keangkuhan, aku merasa aku cukup dibutuhkan disini. Aku cukup dihormati disini, terbesit keinginan apa aku harusnya pindah ke desa ini saja? Sehari menikmati keramah tamah warga, membuatku lupa dengan yang tengah berjuang di rumah. Melawan sakit, melawan sepi. Aku lupa bahwa keluargaku sedang ingin aku kembali membawa pundi kepengan emas untuk kembali merajut kehidupan dengan sehat. Mimpiku untuk menikah dengan mas Pram juga hampir pupus karena sepersekian detik keinginanku untuk pindah ke desa ini terbesit.

Setelah semua rangkaian acara selesai, bergegas aku mohon diri untuk pulang. Sungguh, sekali lagi mereka menampakkan kebaikan-kebaikannya padaku. Tak segan salah satu ajudan desa menawarkan diri untuk mengantarkanku kembali.

Suram. Hanya kata itu yang bisa kueja ketika aku telah sampai di depan rumah yang selama beberapa tahun terakhir menjadi hunian paling nyaman. Ada rasa yang berbeda melihat pintu terbuka lebar padahal ini masih di pagi buta. Ayam saja belum ada yang berkokok. Kuketuk pelan kemudian langsung masuk ke dalam, tiada sesiapa yang biasanya menungguku di ruang makan. Namun, saat aku membuka kamar Ellis. Terlihat mas Pram dengan keadaannya yang nampak letih sedang tertidur di samping ranjang Ellis dengan posisi terduduk di tanah dengan kepala diletakkan diranjang. Pemandangan yang cukup mengharukan. Tapi mengapa wajah Ellis terlihat lebih pucat dari biasanya ya. Dan, cukup aneh jika dia yang biasa tidur dengan posisi meringkuk seperti janin dalam rahim kini ia telentang dengan kedua tangan disamping seperti militer sedang berbaris. Bibirnya sedikit biru. Aaa.. tidak mungkin.

"Mas Pram!" aku berteriak sangat kencang hingga mas Pram yang sedari tadi tertidur berjingkat kaget tidak karuan. "Kau sudah pulang, Ranti." Dengan santai ia hanya menjawab dengan pertanyaan kembali. "Lupakan aku, apa mas tidak sadar dengan keadaan Ellis, hah? Apa mas sudah bawa dia ke tabib?" cercaku tanpa spasi membuat dia masih juga nampak tenang seolah tak terjadi apa-apa. "Sudah" jawabnya singkat membuatku sedikit emosi. Kudekatkan diriku memeriksa lebih dalam, berharap semoga terkaanku salah. "Ellisss.." setelah tau apa yang terjadi, aku menangis histeris tapi mas Pram membekap mulutku dengan jari telunjuknya. "Hust, Ellis lagi tidur. Dia kan sakit, perlu istirahat" aku merasa ada yang tidak beres dengan mas Pram, matanya kosong memandang Ellis yang kini telah terbujur kaku. Aku tidak tahu apa yang terjadi selama aku pergi, bukankah tadi ia berkata akan membawa Ellis ke tabib? Tapi mengapa kini kulihat Ellis sudah tak lagi bernafas. Seseorang yang kuanggap adik, yang selalu menemaniku dan baru saja siang sebelum berangkat menari aku masih bisa mendengar nafas beratnya. "Biarkan Ellis tetap tidur disini ya" tangisku semakin pecah ketika mas Pram berkata semacam itu. "Mas, Ellis kita sudah tiada mas. Nyebut mas, iling marang Gusti." Aku mencoba memeluknya namun dia menghempaskanku perlahan dengan pandangan tetap kosong menerawang angan. "Aku yang membesarkan dia Ranti, aku yang ngasuh dia sejak kecil. Salahku cuma satu, nggak segera bawa dia ke tabib. Nggak peduli padahal ia tengah kesakitan. Biar dia tidur disini, aku mau menjaga dia menebus kesalahanku" ada perasaan kehilangan yang begitu mendalam dari tiap kata yang terlontar, ada perasaan menyesal dan lain sebagainya bercampur menjadi satu memoar harapan bersama setiap waktu bersama adik yang sedari dulu bersamanya.

"Dia nggak bisa tidur disini mas, bagaimanapun dia butuh diikhlaskan, butuh tenang, butuh dikebumikan dengan layak. Aku iki yo sedih mas, tapi jangan gara-gara kesedihan kita Ellis nggak bisa tenang perginya" kupegangi lengan mas Pram dengan lembut, namun dihempaskan kasar. "Alah, kamu tahu apa tentang Ellis dan aku. Kamu itu pendatang yang cuma numpang tinggal, ini semua juga gara-gara kamu angkuh, congkak tolak semua tawaran menari hingga Ellis nggak bisa segera dibawa ke tabib. Pikir donk, andai kamu terima tawaran itu pasti Ellis masih hidup sekarang. Dasar wanita munafik! mana balas budimu pada kita yang sudah menerimamu ketika kamu dibuang mentah-mentah oleh keluargamu sendiri?!" rasanya seperti mengulang waktu ketika aku masih ada di tempat kelahiranku. Kembali aku mendapat cercaan kasar dari orang yang terdekatku. Aku, apa aku memang tidak pernah benar di mata siapapun? Apa aku memang tidak berhak mendapat perlakuan baik dari siapapun?

"Ini sudah takdir Gusti mas.." belum sempat akumengakhiri ucapanku, mas Pram sudah menamparku dengan keras. Kurasakan adadarah yang mengalir di ujung bibirku, panas rasanya. Tidak, bukan karenatamparan itu. Tapi seingatku pagi tadi ia sempat melamarku dengan kata-katabegitu manis, kemana semua kata itu sirna sekarang? "Tampar aku tampar, pukul,tendang atau bunuh sekalian juga aku ikhlas. Asal kau harus sadar diri mas,Ellis sudah berpulang. Ikhlaskan dia, biar dia tenang!" ucapku menahan isak yangsedari tadi ingin kutumpahkan, namun aku harus tetap bisa mengendalikannya dankembali berpikir positif. Ada orang yang lebih butuh dihibur daripada aku,lebih butuh didengar daripada aku, lebih butuh seluruh hal positif untukketenangan batinnya. 

to be continue..

Hai-hai readers, author kembali lagi. Author sedang dalam masa pemulihan nih, beberapa kali author pusing tak tertahankan dan itu hampir selalu terjadi ketika author menulis cerita ini. Entahlah, bahkan saat mengetik ini pun yang bukan masuk dalam cerita (hanya sapaan basa basi) author merasa dunia berputar. *Ceileh thor, gayaan lu.

Author serius -_- dan, mending bacanya waktu pagi atau siang saja ya. Karena Maranti bisa hadir dimanapun. Nampak part ini baginya adalah part permulaan penderitaan sesungguhnya dimulai. Ya, author nulis di pc kantor. Kemudian, tanpa author sadari ada perempuan di belakang kursi author memakai pakaian kebaya jaman dulu dengan selendang berwarna orange lengkap sanggul dan aksesorisnya tengah menangis kenceng beud tepat di telinga. Puyeng-puyeng dah -_-

episode per episode nanti kalian akan tahu deh. Dan, author baru ngeh kalau apa kata Sarah itu memang benar. Dia baru kembali tapi aku sudah berkata "Bisakah kita berpisah dulu?" Ya, secepat mungkin sebenarnya author ingin mengakhiri semua ini sih. Berhenti jadi pemburu cerita hantu, atau apalah yang berurusan dengan itu. Author kok ya lelah juga :D atau kasih semangat deh, dengan tinggalkan vote and comment. *Bilang aja biar dapet vote thor. -_- itu nggak bener ya readers. Happy reading

BERCAK MASA LALU (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang