KEMBALINYA SARAH (Part Intermezzo 2)

646 49 5
                                    

Terima kasih untuk semuanya yang ikut mendoakan dan menabur harap untuk kembalinya Sarah pasca ia menghilang. 

Terima kasih juga untuk semua teman-temanku yang bersedia membagi tips, untuk menemukan Sarah.

Disinilah dia sekarang, menemaniku kembali menulis cerita-cerita masa lalu dari "mereka" yang bersedia mengungkit kembali kisah kelam yang sempat menghantui di kehidupan lalu. 

"Wow, Aiyy. Harusnya aku menghilang lebih lama lagi ya. Aku benar-benar hebat ternyata, bisa ada pada cerita khusus dalam karyamu. Padahal sebelum-sebelumnya aku hanya pemeran pembantu saja. Bagaimana jika aku menghilang lagi saja? Siapa tahu idemu muncul untuk membuatku dalam bentuk buku bacaan"

Begitulah kira-kira ucapannya ketika baru muncul dan kembali mengagetkanku, dengan duduk tanpa permisi di jog belakang motorku ketika hendak pulang kerja. Selalu begitu, menghilangkan rindu yang sempat kutabung karena hilangnya dia.

"Tak bisakah dia pergi saja Aiyy? Aku benci dia, aku tidak suka kehadirannya disini."

Inilah yang menjadi salah satu alasan pula mengapa author benar-benar lamban dalam update kisah Maranti. Ya, Sarah membenci dia. Sehingga dalam bercerita pun aku tak bisa leluasa mencerna, apalagi "mereka" sering memberikan puzzle untuk akhirnya harus kupecahkan. Entah dalam bentuk mimpi atau potongan-potongan rekaman singkat suatu kejadian yang sebenarnya tak terlalu kusukai.

"Aku tak pernah salah menebak orang atau perilaku asli 'mereka' Aiyy, karena aku dilebihkan secara insting oleh Tuhan"

Lama-lama, aku juga mulai penasaran mengapa Sarah menyuruhku untuk menghindari Maranti yang menurutku ia baik dengan tingkah sopannya yang datang dan mulai menunjukkan sebuah cerita menyayat hati. 

"Dia ingin menjadi temanmu. Tidak! dia ingin menjadi satu-satunya temanmu."

sebenarnya dengan ucapan Sarah, aku sedikit terbelalak. Ingin kuberkata bahwa mari kita berteman jika memang ia membutuhkan teman. Tapi tentang ucapan 'Satu-satunya teman' membuatku goyah untuk sekadar terdiam begitu saja.

"Apa kau sadar? Semenjak kehadirannya, kau jadi lebih senang sendiri. Asik menulis kisahnya hingga lupa ada aku. Apa kau sadar, bahkan emosimu juga sedang terpengaruh. Kau lebih mudah tempramen hingga akhirnya menjauhkan diri dari teman-teman manusiamu, menjauhkan diri dari orang yang kau anggap keluarga, padahal sebelumnya kau selalu bisa mengendalikan emosi dan benci dengan perpisahan. Sampai disini apa kau masih belum sadar juga, ketika kau suatu malam asik menari padahal kau tak bisa menari. Memutar musik-musik sinden padahal seingatku kau tak pernah suka itu Sungguh, apa kau tak takut akan gila lama-lama?"

Ya, aku baru menyadari semua itu ketika Sarah kembali hadir dan tanpa segan ia menamparku  dengan kalimat-kalimatnya yang to the point. Memang ini yang terjadi semenjak aku mulai fokus menuliskan kisah Maranti. Yang kupikirkan mungkin ini hanya faktor hormon pasca pms yang menjadi pengaruh besar dalam naik turunnya mood ku. Atau anggap saja begitu agar kita bisa terus berpikiran positif.

"Kau mau menuliskannya? Silahkan saja, asal tetap pada batasan. Dia dengan batasannya, dan kamu dengan batasanmu. Jika dia hendak selangkah lagi ingin membuatmu menjadi teman satu-satunya, maka maaf kalau naluri membunuhku akan aktif kembali."

Sebenarnya aku tak paham apakah "mereka" bisa saling bunuh atau bagaimana, tapi setidaknya itu adalah kata mengerikan yang Sarah dengungkan dalam mimpi-mimpiku. Aku juga kurang paham apakah "mereka" bisa mempengaruhi pikiran manusia sampai membuat seolah menjadi berbeda ketika terlalu menghayati sebuah tulisan tentang cerita "mereka", entahlah. Kuharap itu bukan gejala syndrom bipolar disorder atau yang lebih parah lagi. Naudzubillah! Tapi setidaknya aku bersyukur, masih memiliki orang dan "teman" yang mengingatkanku akan hal itu. Aku merasa lebih ternaungi dengan pendekatan pada Tuhan yang intensif kulakukan. 

Kutemukan bahwa penyebab Sarah menghilang adalah memang ia sengaja melakukannya karena bete melihatku terlalu asik dengan yang lain. Ah, ternyata "mereka" punya rasa cemburu juga.

Dan aku merasa ingin segera mengakhiri cerita-cerita yang berkaitan dengan Maranti, maupun dengan "mereka" yang lainnya. Rasanya ingin menyerah, menulis genre ini banyak resiko yang harus kuhadapi. Termasuk sakit kepala yang selalu hadir ketika mulai menulis.

BERCAK MASA LALU (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang