MARANTI (11) ~ End

741 42 1
                                    

"Ya, aku ingin pulang pada tempat atau seseorang yang kusebut rumah."

"Belum jua aku sampai pada rumah orang tuaku dulu, masyarakat sudah menyambutku dengan sambutan tak kalah menakjubkan dari semua kejadian yang kualami. 'Wah, lihatlah siapa yang kembali di tanah yang dulu ia tinggalkan demi mencari belaian para lelaki.' Begitulah kira-kira mereka menyambutku, ucapan-ucapan kasar maupun hinaan keji terlontar begitu saja. Bak panah yang satu-persatu menghujam punggungku menembus tubuh yang ringkih." Semakin dalam ia larut menceritakan kisahnya semakin jelas pula terlihat dalam bayanganku tentang kesendiriannya kala itu.

"Harapanku sirna, orang tuaku memang tak pernah menganggapku ada. Mereka sama seperti penduduk desa dan orang-orang yang lainnya. Melihatku dengan tatapan seolah aku hanya sampah yang pantas dibuang. Dan aku terusir lagi. Kesekian kalinya aku membawa langkah kaki tanpa arah tujuan. Sekali lagi, aku terhempas oleh angin kehidupan yang sedemikan keras. Pertanyaan 'kemana lagi?' seolah sudah menjadi makanan di jalan hidupku. Terlantung mencari jalan pulang. Ya, aku ingin pulang pada tempat atau seseorang yang kusebut rumah. Bukan sekedar singgah lalu kembali terlempar kedasar jurang bernama sepi. Menyusuri tepian sungai yang kini alirannya tak sederas saat aku ingin menjatuhkan diri kemari. Memasuki belantara hutan, mungkin saja di dalam sana ada beberapa tempat tenang untukku menikmati sisa waktu yang sering diambil orang-orang jalang itu. Tiba-tiba saja, 3 orang laki-laki menghampiriku. Membual dan berucap omong kosong, pikiranku sudah mulai merasa tak waras. Alarm bahaya mulai menggerayangi otakku yang kini tengah berhadapan dengan laki-laki mesum di tengah hutan tanpa ada orang lain lagi. Bodohnya aku, mengapa juga harus melewati hutan yang jelas-jelas penuh berandal dan hewas buas. Aku terus saja mengumpat, berlari meninggalkan bungkusan pakaianku yang tak terlalu berharga, menyembunyikan diri diantara pepohonan rindang berharap mereka tak seperti anjing yang bisa melacak keberadaan seseorang dengan mudah. 'kemarilah manis, bermainlah dengan kami' kata itu kudengar beberapa kali dari mulut mereka. Kau tahu kan arti bermain? Ya, bermain perihal harga diri seseorang. Aku tidak terlalu muluk ingin terbebas, karena tahu situasiku seperti apa. Aku juga tidak ingin menyerahkan diri. Kurasa saatnya menghadapi dengan sesantai mungkin. Toh, memang harga diriku sudah lebih dulu hilang sejak aku mulai meninggalkan desa demi impianku. 'ketemu!' saat aku menenggelamkan pikiranku dalam. Para berandal itu berhasil menemukanku, harusnya memang kau sudah tahu tanpa aku bercerita padamu tentang ini. Kau melihat semua, yang bahkan sebenarnya tidak ingin kutunjukan padamu. Jadi sudahlah, aku memang tak bisa membohongimu ya." Rasanya hatiku sedikit bahagia, bukan karena mendengar ceritanya yang pilu. Namun saat ia mulai tersenyum karena punya kesempatan untuk bercerita dengan seseorang perihal hidupnya.

"Setelah itu?" tanyaku singkat sambil tetap memperhatikannya. "Mau bagaimana lagi, hidupku sudah tak berarti. Pakaianku sudah tertanggal, kehormatan dan semuanya sudah lenyap. Namun aku masih berjalan, mengingat bungkusan yang kutinggalkan ada beberapa pakaian yang masih bisa kukenakan untuk menutup kehinaan tubuh ini. Sebelum kembali berjalan, aku menemukan sebuah batu dengan ujung lancip. Kugoreskan pada nadiku, kubiarkan luka itu mengalirkan segala duka yang tersisa. Biar saja tubuhku membeku dalam perjalanan. Dalam pemikiran dan segudang pertanyaan. Dimana Gusti saat hambaNYA sedang dalam keadaan membutuhkan pertolongan. Adakah DIA Sang Maha Adil itu? Rasanya sudah jauh aku berjalan, dan lukaku juga masih saja terbuka. Mataku mulai memburam, kepalaku kian berputar. Dalam hening aku masih berharap pada Gusti untuk menunjukan keadilanNYA padaku, setidaknya jika aku benar-benar mati. Semoga mayatku ada yang bersedia menguburkan dengan layak. Tak perlu ada upacara pemakaman, atau apapun. Aku hanya ingin pemakaman sederhana yang akan membuat diriku benar merasa pulang. Aku tidak sedang berniat membunuh diriku sendiri, aku hanya berniat membunuh manusia hina yang sudah terhinakan berulang kali. Aku terjatuh tepat setelah aku keluar dari hutan. Inikah keadilah Gusti yang kuragukan? Sungguh, saat ini aku benar-benar merasa malu. Bodohnya mempertanyakan perihal keadilan, tepat di depan hutan pula, aku menatap desa yang dulu sempat menyambutku ramah ketika aku menari sebelum Ellis tiada. Mataku masih mengerjap, mengetahui ada dua orang yang bergegas membopongku pergi. 'Gusti, sungguh aku tidak bermaksud membunuh diriku sendiri. Maafkan aku' kata itulah yang menjadi akhir dari perjalananku. Terima kasih telah mau mendengarku bercerita, aku tidak mau apapun darimu. Maafkan jika aku terlalu egois padamu, memaksamu mendengarku meski sepertinya kau sudah muak padaku. Sampaikan maafku pada temanmu juga, dia sangat baik jika bersamamu. Aku akan pergi sekarang, jangan khawatir. Kini aku lebih bisa bahagia setelah bertemu dengan orang sepertimu. Sekali lagi terima kasih." Belum usai aku dibuat kaget dengan ending mengejutkannya. Dia sudah lebih dulu menghilang dengan meninggalkan senyuman tulus yang terukir di bibir manisnya.

Maranti, tetaplah menari dan menghibur orang lain. Selamat tinggal, semoga seluruh kedamaian menyertaimu. Aamiin. 

 

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
BERCAK MASA LALU (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang