MARANTI (2)

729 50 4
                                    

Maranti pov..

Namaku Maranti, aku hanya gadis desa yang sejak kecil sangat menyukai tembang Jawa sekaligus tarian-tariannya. Entah mengapa, sekalipun aku putri satu-satunya di keluarga sederhanaku, kedua orangtua begitu enggan mendukungku belajar kebudayaan Jawa. Mereka mulai lebih sering memarahiku terhitung dari usia 7 tahun saat aku pertama kali melihat iringan orang menyanyi dan menari dengan gemulai di pelatar lapangan desa sore itu.

"Dasar bocah gemblung, nggak usah nonton begituan. Ngapain kamu ikut-ikutan ada di perayaan desa?" umpat emakku ketika tahu aku sedang menonton acara pagelaran. Entah siapa yang mengadukanku pada emak yang memang begitu membenci tarian Jawa "biar saja, nanti kalau dia bisa nari gitu ngasilin uang buat kita kan enak" sahut bapak yang masih suka menenggak arak di depan putrinya yang masih kecil. Aku heran, mengapa emak tak pergi saja meninggalkan bapak yang berkelakuan seperti tak tahu malu itu. "Didikanmu ngawur pak, mau kamu jadikan dia seperti selirmu itu yang seorang penari aduhay." Belum sempat emak meneruskan bicaranya, bapak membanting botol arak dan berucap kasar "Tutup mulutmu, sudah kubilang aku tak pernah punya selir. Aku sekadar ikut berjoget, dan banyak orang yang ikut juga. Masih saja kau mengungkit masalah kecil yang sudah berlalu lama itu" pantaskah seorang anak kecil melihat pertengkaran semacam ini di depannya? "Ini semua gara-gara kau bocah, kalau saja kau tak datang ke acara ini dan emakmu tak memarahimu, pertengkaran ini tak mungkin terjadi." Ya, mereka tak pernah mau tahu perihal perasaanku selama ini. Lebih parah lagi ketika kedua orang tuaku bertengkar, mereka sering melampiaskan kekesalannya dengan memukulku menggunakan rotan atau sapu lidi berulang kali ke tubuh kecilku.

Diam-diam, aku mulai belajar menari di sebuah sanggar tari desa. Banyak yang kupelajari dari sini, aku masih ingat benar ketika aku pertama kali menginjakkan kaki melihat para gadis desa dengan senyum manis melenggok syahdu mengikuti alunan musik tanpa ada beban sedikitpun. Seseorang menepuk bahuku, "kenapa kau hanya diam saja disini, ayo ikutlah. Kita belajar bersama-sama" dengan ramah ibu setengah baya pemilik sanggar mempersilahkanku untuk segera masuk, aku paling muda diantara yang belajar saat itu. Dan tentu saja yang paling mendapat perhatian lebih dari para pengajar maupun pengurus sanggar. "Kau masih kecil sudah belaga, main masak-masakan saja sana. Sok-sokan pengen belajar tari mana cari muka banget lagi" entah mengapa, teman-teman yang ada di sanggar begitu membenciku. Kala itu usiaku menginjak 10 tahun ketika belajar bersama gadis desa yang rata-rata usia 15-20 tahun yang mungkin telah siap untuk dipentaskan.

Ya, aku masih terus belajar sekalipun tanpa sepengetahuan kedua orang tuaku. Sendiri, bersama iringan musik kubiarkan tubuhku sebebas mungkin mencari ruang kosong jiwa untuk kusinggahi bersama lekuk tarian yang membawa ketenangan. Denting gamelan membuat pikiranku nampak lebih jernih. Derap langkah kaki seolah menjadi angin yang bisa berhembus bebas kemanapun ia mau tanpa ada yang menghalanginya.

"Ampun mak, Ranti hanya belajar bukan hendak bermain-main atau apapun yang emak sanggahkan pada Ranti" lagi-lagi, sepandai apapun aku menutupi kegiatanku belajar tarian ini tetap saja akan diketahui oleh emak yang sudah terlanjur naik pitam. 8 tahun lamanya aku masih nyaman dalam bilik sanggar milik seorang ibu ramah itu tanpa diketahui oleh orang tuaku, kini entah cuitan burung mana yang tega membuatku sekarang dalam keadaan semakin terpuruk. Tanpa iba, emak dengan semangat menyiramkan air bekas untuk mencuci peralatan rumah tangga pada sekujur tubuhku, kemudian menyeretku keluar rumah disaksikan para warga yang justru membuat hal ini sebagai tontonan gratis tanpa ada rasa iba sama sekali. Belum cukup aku dipermalukan, bapak membawa sebilah rotan dan tanpa ragu menyabetkan pada tubuhku yang menggigil kedinginan di bawah sore hari menjelang sandikala. "Bapaakk.. Ranti tidak bersalah, ampun" meski aku sudah tersungkur dihadapan mereka berdua tetap saja tiada kata ampun untukku. "Kau bilang apa? Ampun katamu? Sehari-hari bapakmu kerja cari uang buat makan, tapi selama ini yang kamu bilang minta uang buat beli jajan itu ternyata cuma buat sumbangin ke sanggar gila itu. Mau ditaruh mana muka bapak sama emak, kalau tahu anak perempuannya justru belajar menjual diri sejak kecil.." "Bapak, aku penari bukan penjual diri!!" sungguh bantahan itu rasanya belum puas kutamparkan pada bapakku sendiri, namun rotan itu sudah lebih dulu membungkam mulutku. Entah berapa kali kulitku harus tercabik oleh sabetan demi sabetan rotan yang bergantian dipukulkan padaku oleh emak dan bapakku sendiri.

"Cukup! Dia anak kalian, kenapa justru kalian menyiksanya seolah ia hanya hewan yang tak berperasaan. Apa kalian ingin membunuhnya juga, hah?" Seorang pria bertubuh jangkung menangkis tangan bapak yang hendak memukulkan rotannya lagi padaku. Mungkin dia pria dari desa seberang, karena sungguh aku tak pernah mengenalnya selama tinggal di desa ini. Yang jelas, dia malaikat untukku hari ini. "Tak usah lancang *Le, ini urusan keluarga kami. Dia sudah membohongi kami selama hampir dari 8 tahun. Dia belajar untuk menghibur para lelaki haus nafsu yang siap untuk menerkam kapanpun" lagi-lagi, kata itu diucapkan kembali padaku yang masih mandi oleh air mata dan darah yang membasuh tubuhku. "Aku penari, bukan penjual diri" masih kupertahankan jawabanku meski lirih, kurasa sudah cukup terdengar. "Alah, tak usah sok suci. Penari mana yang bisa tahan godaan kalau sudah ada yang memesan dengan harga tinggi. Harusnya kamu tahu itu, emak benci kamu jadi penari yang secara tidak langsung menjual diri" Tuhan, jika Kau ada bisakah aku meminta untuk menjadi tuli saja sementara waktu agar aku tak mendengar cercaan dari mulut-mulut tajam yang akan membunuh harga diriku berulang kali. "Menari itu suatu kebudayaan Jawa yang pantas untuk dilestarikan, sangat beda dengan proses jual diri pak, bu" dengan sigap pria tak dikenal itu tetap membelaku dan membantu untuk berdiri meski sesungguhnya tubuhku sudah tak mampu lagi berdiri. "Sudahlah, terima kasih bang. Jangan diteruskan, memang sudah begini keadaanku" aku yang tak bisa mengucap apapun lagi memandang lekat wajahnya, begitu teduh akan syarat makna kenyamanan. Gila kah aku, dimana hanya dengan melihat wajah pria ini seolah semua rasa sakitku menghilang.

*Le : panggilan untuk anak laki-laki di daerah Jawa Timur

Yeay, sesuai janji author nih. 1 hari sudah terpublish 2 part sekaligus.
Jangan lupa tinggalkan vote and comment, karena kisah Maranti belum usai sampai disini.
See you

Author'Aiyy

BERCAK MASA LALU (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang