MARANTI (3)

638 47 2
                                    

"Jika memang kalian sudah jengah mengurusnya, maka biar saja ia mengikutiku. Akan kuurus dia sebaik mungkin. Tanpa perlu mendidik dengan rotan maupun hinaan yang seperti kalian lakukan!" bak dijatuhkan diantara tumpukan bunga, aku merasa inilah kesempatanku untuk benar-benar bebas. Aku tak berniat untuk durhaka terhadap orangtua, daripada saat bersama mereka aku menjadi lebih sering membantah dan berkata kasar, maka ada baiknya aku menghindar selangkah demi kebaikan bersama. Sekalipun mereka memenuhi hariku dengan luka, setidaknya aku masih ingat bahwa tanpa mereka aku tak akan bisa hidup sekarang. "Sekali lagi siapa dirimu anak muda? Datang dari antah berantah, tanpa permisi masuk keranah pribadi kami. Apapun yang terjadi biar saja. Ini bukan urusanmu" ujar emak sembari menarik kasar lenganku hingga kembali tersungkur di depan orang tuaku. Sakiit, aku tak pernah lupa rasa sakit itu. Sekujur tubuhku, termasuk batinku dipenuhi rasa sakit. "Tanyakan saja padanya, apa dia masih mau ikut dengan kalian para orang tua biadab" bapak yang sudah emosi karena diriku, kini makin terbakar karena kata-kata kasar dari pemuda ini. Didorongnya dengan keras hingga terjerembab, pemuda itu bangkit kembali dan melakukan perlawanan. Kali ini apa lagi, perkelahian dengan alasan tak penting tengah berlangsung di hadapanku. "Berhenti!!" dengan tertatih, aku menarik paksa pemuda itu mencoba memisahkan perkelahian mereka. "Cukup bapak, Ranti sudah 18 tahun. Biar Ranti memilih jalan hidup sendiri. Sudah cukup kalian mengasuh Ranti selama ini, terima kasih." Aku pun berlalu masuk ke dalam rumah berniat hendak mengemasi barang-barangku. Kuniatkan saja untuk pergi jauh sejauh mungkin dari siapapun yang melihatku begitu hina. "Tak tahu malu. Belum sehari kami memberimu pelajaran, sudah mau berulah lagi. Ada baiknya kau mati saja!" siapa yang tahan mendengar emaknya sendiri berkata demikian pada kesalahan yang tak pernah kuperbuat. Katakan padaku sekarang, salahkah jika aku mencintai kebudayaanku sendiri? Salahkah aku jika ingin menghibur orang? Salahkah aku jika ingin mendapat pengetahuan lebih tentang ciri khas daerah? Dimana salahku, dimana salahku, dimana salahku? Segala tentang itu belum jua terjawab. Aku lupa perihal luka badan bahkan mulai melebar, aku lupa luka badan mulai menyiksa raga. "Doakan putrimu sukses ya. Emak, bapak. Ranti lebih baik pergi sendiri, mungkin dengan begini Ranti tak akan menyusahkan kalian lagi. Tak akan membuat kalian malu lagi, tak akan membuat kalian menodai tangan kalian sendiri untuk melukaiku. Aku pamit untuk merebut kesuksesan dalam dunia tari. Aku akan membuktikan pada kalian bahwa penari bukan penjual diri" bahkan meski aku sudah berusaha keras berpamitan dengan tubuh ringkih ini, tetap saja kedua orang tuaku tak menggubris. Mereka tetap pada pendirian untuk mencampakkanku yang dianggap memalukan ini. "Ikutlah denganku" ucap pria itu dengan mengulurkan tangan. Hatiku ingin menerima, namun jika dengan mudah kuterima tawaran ini begitu saja justru akan membuatku nampak semakin terhina karena mudah terbujuk dengan laki-laki asing. "Tidak, terima kasih. Aku akan berjalan di jalanku sendiri" jawabku dan melangkahkan kaki meninggalkan semuanya tanpa ingin menoleh kembali.

"Aku tak pernah tahu, jika di negeri ini ada orang sebejat kalian. Membiarkan anak sendiri terkatung mencari nasib tak tentu. Menghinakan, menjatuhkan. Hei, itu darah dagingmu.." masih saja kudengar keributan dari mulut pria itu. "Dia bukan anakku!" Deg, rasanya jantungku berhenti total memompa darah hingga seluruh tubuhku memucat bak mayat hidup mendengar celoteh dari emakku sendiri. Langkahku berhenti, hendak kembali pun sudah percuma. Biar yang terjadi terjadilah sesuai kehendak Gusti. "Adikku meninggal saat dia melahirkan. Dia seorang penari yang entah dari laki-laki ke berapa ia hamil. Suaminya pergi entah kemana, karena tak yakin dengan kehamilan istrinya sendiri. Dan saat itu kami juga belum dikaruniai seorang anak. Kami angkat dan kami urus dia seperti anak kami sendiri, berharap kelak ia akan jadi orang terdidik dan berhenti mengikuti jejak ibu kandungnya itu. Eh, malah sebaliknya. Namanya keturunan pasti nggak jauh-jauh nurun juga polah tingkahnya. Sekarang kami merasa menyesal menerima anak itu, harusnya kubuang jauh sebelum ia lama hidup dan menyusahkan seperti ini." Bak petir menyambar di siang hari. Semua kenyataan apa lagi ini sekarang, siapa aku, siapa ibuku semua terungkap dengan begitu jelas. *Gusti ingkang kuoso, dan benar sudah tidak ada alasanku untuk kembali lagi disini. Untuk siapa jika aku kembali, pada orang yang menerimaku dengan keterpaksaan? Pada orang yang menghinakan kelahiranku? Pada orang yang menganggap aku hina dan rendah? Tanpa peduli orang masih sibuk berdebat, kuseret kaki ini menuju entah, asal bisa berteriak bebas melepas segala beban yang menusuk lekat dadaku hingga sulit bernafas lega.

**Gusti,lamun siro kagungan kelepatan, kula nyuwun pangapurane ingkang kathah. Anginmembawaku ke tepian sungai dengan arus deras kala itu, haruskah aku mengikutiarus itu? Haruskah sekarang aku menyerah saja?     

*Gusti ingkang kuoso : Tuhan yang Maha Berkuasa

**Gusti, lamun siro kagungan kelepatan, kula nyuwun pangapurane ingkang kathah. : Tuhan, Jika aku punya kesalahan, aku minta pengampunanMU.

Hai, Readers. Maafkan author yang telat update. Harusnya sudah kemarin, kendala kuota yang habis di tengah malam. Jadi memperlambat cerita terpublish. By the way, itu bahasa Jawa alus kira-kira artinya begitu karena author termasuk orang Jawa yang kurang paham bahasa Jawa halus 😅 Jangan lupa tinggalkan vote and comment.

Author'Aiyy

BERCAK MASA LALU (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang