TEROR!! (7)~Hideyo

761 57 4
                                    


"Selamat malam" suara seorang pemuda mengejutkanku ketika tulisan hendak kulanjutkan. Pikirku menerawang asal, bertanya siapa yang kini sedang ingin menyapa. Sepersekian detik sementara mengatur nafas yang sedang naik turun tak karuan. Kurasakan hawa yang begitu hangat semakin mendekat. "Selamat malam gadis pribumi, apa kau sedang membicarakan cerita hidupku pada tulisanmu?" Deg.. jelas sudah tentang mengapa ia datang dan menyapa di larut malam. Dia yang masa lalunya tak sengaja kumasuki, mulai bertanya dan mungkin ingin meminta penjelasan. Salahku juga sebelumnya tak permisi karena memang sebenarnya di awal cerita yang ingin kujadikan pokok pembahasan adalah Aishin. Tapi entah mengapa, seolah tanganku begitu mengerti alur cerita lain tentang seorang pemuda, putra dari Aishin Fujiyoku Tsukinaru.

"Selamat malam, namaku Aiyya. Maaf jika saya lancang menceritakan suatu cerita yang sebenarnya harus dirahasiakan" mataku masih menatap layar laptop yang urung tertutup. Berpura-pura tak acuh tentang kedatangannya, meski sejujurnya ada rasa takut yang tak jelas merayapi seluruh tubuh. "Tidak perlu sebegitu khawatir, alam yang menuntunmu melihat kisahku. Meski awalnya kau begitu ragu menceritakan dari sudut pandang mommy ku, namun lihatlah sekarang dirimu begitu lihai melukiskan yang terlintas dalam sebuah cerita. Namaku Hideyo San, aku mulai menjejakan kaki di Hindia Belanda pada tahun 1943 ketika papaku sebelumnya sudah datang lebih dulu disini, kemudian memutuskan untuk membawa serta kami dalam tugasnya. Menikmati suasana baru negeri jajahan yang mereka pikir begitu nyaman dinikmati. Gadis pribumi, apa kau ingin mendengar kisah ini langsung dariku? Maaf, karena aku terlambat datang dan kemudian mengacaukan alur yang sudah kau buat dalam cerita" sejenak aku tertegun, melihat sebuah siluet yang sempat membuat mataku perlu diusap kasar beberapa kali untuk memastikan bahwa yang kulihat bukan khayalan karena sedang menulis. Seorang pemuda tampan, berkulit putih, mata sipit, hidung mancung ditambah rambut cepak tebal hitam legam dengan perkiraan usia belasan tahun, memakai kimono berwarna biru laut kini sedang tersenyum ke arahku. Rasanya jika teror semacam ini setiap hari, aku bersedia saja. Lumayan buat cuci mata ketika penat menulis mendera. Lamunanku buyar ketika suara lain sedang berdeham di sampingku. "Matanya bisa biasa aja nggak?" sembari melipat tangan di depan dada, Sarah menatapku tajam. Entah sejak kapan ia muncul dan memperhatikanku. "Hai, kau temannya?" baru saja mulutku ingin terbuka untuk membalas ucapan Sarah, Hideyo lebih dulu menyapanya dengan ramah. Meski terlihat raut wajah Sarah yang tak begitu antusias menyambut keramahan siluet baru ini, namun ia dengan cuek menganggukan kepala lalu berbalik menatapku tajam "Santai saja please" godaku sambil tetap menatap layar "kamu kan cewek, masak lihat laki-laki bening matanya langsung ijo" aku yang lihat, entah mengapa jadi dia yang sewot "Lhah, normal kan berarti. Masih bisa lihat laki-laki, kalau aku lihat perempuan terus kayak gitu tuh baru kamu permasalahkan." Dengus kesal Sarah mendengar jawabanku "Disini ada tamu, bersikap sopan ya" kembali kuingatkan padanya bahwa saat ini ada yang lain tengah ikut dalam pembicaraan kami. Meski sebenarnya pada kenyataan, Sarah akan cenderung lebih pendiam dariku

"Setelah kabar tentang pemberontakan pribumi tersebar ke seluruh penjuru pemerintahan Jepang, papaku mulai kalut dan mempersiapkan perlawanan dengan terburu. Bahkan ketika mempersiapkanku untuk ikut dalam pasukan perang, baginya tiada yang lebih penting dari bertahannya posisi kedudukan penjajah di negeri ini. Tiada yang lebih penting bahkan anak seusiaku pun dipaksa ikut untuk mengadu nyawa. Sejujurnya aku sudah memperkirakan ini akan terjadi, pasukan kami tak akan mampu menepis amarah pribumi yang telah memuncak. Apalagi tanpa sadar, pasukan militer Nippon pernah melatih para pemuda pribumi yang sebenarnya ingin dijadikan sebagai pasukan tambahan untuk membantu mengatasi konflik perang di negara kami, namun hal itu justru digunakan kaum pribumi menjadi kesempatan baik untuk memutar balik keadaan. Setidaknya, meski senjata yang kusumbang tak begitu banyak, kuharap mampu membantu mereka. Sempat aku berpikir, apakah aku jahat dengan mengharap adanya pemberontakan yang akan menelan banyak korban dari bangsaku sendiri. Ataukah tindakanku benar karena ikut melawan ketidak adilan. Di waktu peperangan pun, aku masih sempat membisikan sesuatu pada beberapa pemuda pribumi yang kukenal. Sesuatu hal tentang kelemahan bangsaku, aku di kubu Nippon. Tapi pedangku ada pada hati pribumi. Sesaat ketika pasukanku mengetahui gelagat aneh yang kulakukan, segera aku berusaha berpura-pura menyerang. 'Ambil ini, lemparkan pada sudut pasukan inti, tetap serang aku dan biarkan jalan terbuka sendiri' dengan tangan kanan masih memegang katana yang hendak kuarahkan pada leher pemuda pribumi, tergesa kuserahkan sebuah granat dengan tangan kiri yang berjalan bersembunyi melalui jarak tubuh yang begitu dekat. Ia mengangguk tanda paham dengan saran yang kubisikkan, disaat itu hatiku hanya berdoa untuk pengampunan Tuhan atas semua dosaku karena menghianati bangsaku sendiri" sejenak ia terdiam, menunduk lesu. Sarah menepuk kasar lenganku, karena menunggu Hideyo bercerita kembali membuatku ingin menyeruput sisa secangkir kopi yang belum habis. "Why?" bisikku pelan agar tak menyinggung seseorang yang masih dalam posisi diam "Hargai yang mau bercerita!" suara yang tak kalah pelan dari Sarah justru membuatku geli sendiri. Seolah sama-sama lupa, bahwa suara dalam bathin saja bisa terdengar oleh 'mereka' apalagi yang Cuma berbisik seperti ini. "Berapa harga yang harus kuberikan?" kualihkan pandangan kearah Hideyo yang masih nyaman dalam diamnya, sembari mulutku terus mengarah ke Sarah "Aiyya!!" teriakan Sarah serta merta membuyarkan lamunan Hideyo

"Maaf, dia memang begitu Hideyo. Suka teriak-teriak tidak jelas"

"Hei.!"

"Mari kita lanjut. Jadi, apa granat itu mampu menembus pasukan inti? Hideyo, bagaimana akhirnya kau merenggang nyawa?"

"Aku benci kau Aiyya"

"Ya, aku juga Sarah."

"Cih!"

Kulihat sebuah garis senyum dari pemuda tampan ini tersirat dari bibirnya. Setidaknya kini ia tak lagi terdiam membisu mengingat kejadian yang lalu.

"Apa kalian selalu bertengkar seperti ini?" kini aku dan Sarah saling berpandangan. "Ya, Sarah selalu seperti itu" alis lucu Sarah mulai segaris mendengar ucapanku yang begitu santai tentang dirinya. "Memang aku selalu seperti ini. Selalu salah di matamu, puas?" tawa pecah diantara keheningan malam. Menjeda cerita yang urung selesai. 

Readers, jangan pernah bilang jika kalian juga ingin diteror oleh Hideyo San

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Readers, jangan pernah bilang jika kalian juga ingin diteror oleh Hideyo San. Aku sedang tidak mengkhayal. Kira-kira memang yang kulihat dia seperti itu namun dengan rambut hitam legam dan kimono biru laut. By the way, pertama kali author ketemu yang wajahnya adem dan nyaman dilihat. Sayang, dia masih belasan tahun ditambah bukan seorang manusia. 

Nantikan cerita ini kembali lagi, jangan lupa tinggalkan vote and comment yak.

Author Aiyy

BERCAK MASA LALU (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang