MARANTI (6)

579 43 4
                                    

Kami bertiga datang bersama ke festival rakyat yang diselenggarakan di lapangan desa dekat rumah kami. Sungguh, begitu kami berada di tengah kerumunan. Spontan semua mata tertuju padaku. Aku sedang tidak berada pada situasi terlalu percaya diri, namun itulah yang terjadi. Sorot mata dengan senyuman mengiringi langkahku ketika aku hendak mulai tampil. Sudah disediakan orang-orang yang memainkan musiknya disana, tinggal aku yang dengan tugasku sebagai penari harus beraksi memukau semua mata. Dalam hati aku berdoa, semoga Gusti merestui apa yang kukerjakan saat ini. Kututup mataku dan mulai mengikuti alunan musiknya. Selain musik, terdengar riuh dari warga yang sepertinya mulai ikut menari bersama. Kubuka perlahan mataku, dan benar. Semua asik dengan irama dan tarianku, aku melihat di sisi lain, Ellis dan mas Pram hanya tersenyum bahagia melihatku yang masih nyaman dengan kebebasan yang selalu kudapatkan ketika menari.

👏👏👏👏👏

Ada yang aneh di desa ini, mengapa mereka tak menghentikan musik meski ini sudah berlangsung cukup lama bagiku. Terpaksa aku berhenti menari karena hal seperti ini tak seharusnya terjadi. "kenapa berhenti cah ayu, ayo menari lagi. Apa kamu ingin menari di bilikku saja hah?" celoteh tidak sopan dilontarkan seorang pria paruh baya yang kini mendekat dan menarik selendangku. "Hentikan! Saya penari, bukan penjual diri" aku menarik paksa selendangku dan membuat pria itu hampir terjungkal. Sontak tatapan mata yang tadinya hangat bersahabat, kini meredup dan berganti dengan tatapan seolah hendak melemparku ke kandang buaya agar aku bisa diterkam hidup-hidup. Dimana pula kedua orang yang harusnya tetap mendampingiku, kemana mereka saat aku membutuhkan. "cah ayu, jangan sok suci lah. Semua penari itu pada dasarnya juga penghibur di kamar. Kalau tidak begitu, mana bisa laris kamu?" ini sudah salah, aku datang untuk menawarkan seni bukan diri. Kenapa ocehan mereka sama saja dengan di desaku dulu. Semua sama, bagi mereka penari adalah penghibur dalam segala aspek. "Sudah, baru juga muncul penari baru di desa kita. Kalian sudah menjadikannya bahan ejekan" setidaknya hari ini ada yang membelaku, seorang petinggi desa menengahi kericuhan yang sempat terjadi. "Kalau kamu sudah capek nari, silahkan pulang ya. Tadi hadiahmu sudah diambil Pramono dan adiknya" ucapnya membuatku tak kalah kaget, bagaimana bisa mereka mengambil hadiahnya lalu pergi meninggalkanku sendirian diantara macam buas yang sedang kelaparn. "Terima kasih pak, saya permisi" dengan santun aku membungkukkan badan dan berlalu segera dari tempat itu. Udara dingin membuat tubuhku yang hanya mengenakan kemben menggigil, selendang tipis hanya menjadi bantuan sederhana menutupi sebagian tubuhku.

Kubuka pintu perlahan, memastikan keberadaan orang di rumah. Apakah tidak terlalu, ketika aku disana sendirian meringkuk dalam tuduhan tak bermoral, sedang dua orang yang kugadang-gadang akan melindungiku justru sedang menikmati santap malam yang terlihat begitu lezat. Beberapa potong ayam yang telah dimasak tengah tersaji di atas meja sederhana kami, dengan berbagai buah-buahan yang menjadi pencuci mulut.

To be continue

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

To be continue........

BERCAK MASA LALU (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang