Toko Bunga
ﺑِﺴْﻢِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺍﻟﺮَّﺣْﻤَﻦِ ﺍﻟﺮَّﺣِﻴﻢ
"Pertemuan singkat seperti angin lewat, tetapi pertemuan selanjutnya adalah kisah baru."
Assalamualaikum.
~~~~
"Jauza!" Aku terkesiap saat namaku dipanggil. Berjalan seorang wanita anggun sekitar umur empat puluh lima tahun menghampiri, dia adalah pemilik toko tempatku bekerja.
"Iya, Bu?" sahutku ketika dia sudah dekat.
"Saya mau keluar, hari ini jatah kamu sift malam, 'kan? Jaga baik-baik sampai nanti saya balik untuk tutup tokonya." Begitulah kata beliau, kemudian melenggang pergi setelah aku mengangguk. Meski setiap hari dia pergi, tetapi dia selalu pamit dan berkata akan kembali. Kudaratkan bokong pada kursi setelah kepergiannya.
Ah! Namaku Jauza Madia Alsinta, aku tengah kuliah di jurusan bisnis sembari bekerja di toko bunga. Malam ini, aku harus jaga toko sendirian, karena bergantian dengan karyawan lain.
Jujur saja, hari ini sedikit berat, ada beberapa kejadian yang memantik emosi. Seperti kejadian di kampus saat harus bertemu dua orang menyebalkan yang menyembunyikan sepatu, membuatku sampai harus pulang tanpa alas kaki.
Beruntung kedua sahabatku mau membantu, bahkan Dea, si gadis cerewet itu harus mendengarkanku menggerutu dan meraung padanya karena kesal.
Entah mengapa, beberapa hari terakhir ada dua pemuda nakal yang merecoki hariku di kampus, alasannya sepele, ingin meminta nomor telepon, menyebalkan. Mana mungkin aku memberikan nomorku tanpa ada tujuan tertentu, apalagi pada pemuda-pemuda yang sepertinya Kakak tingkat, mereka tidak ada urusan denganku.
Dentingan suara dari pintu membuatku terkesiap, ada pembeli yang datang.
"Silakan masuk, Mas," ucapku menyambutnya.
Pemuda berjaket jeans itu kemudian masuk dan berjalan ke arah pojok, melihat-lihat deretan bunga di sana.
Melihatnya terlihat bingung, aku menghampiri seraya bertanya, "Cari bunga apa, Mas?"
Saat dia menoleh sebentar, aku sedikit mengernyit. Sekilas, melihat wajahnya seperti tidak asing, atau mungkin memang pernah bertemu sebelumnya, tetapi aku rasa baru melihatnya.
"Em ... bingung," sahutnya datar.
"Memang buat siapa? Apa mau saya bantu?" Aku bertanya lagi.
Pemuda itu langsung menoleh dan berkata, "Sebenernya, sih, mau buat pacar, tapi pacarnya yang enggak ada, hihi!" Dia mengakhiri ucapannya dengan kikikan geli.
Aku sampai ingin ikut tertawa, tetapi lebih baik ditahan. Rasanya canggung sekali, karena dia terlihat seumuran denganku.
"Kalau mau bantuin boleh, kok, sekalian cari bunga kesukaan kamu," ujarnya membuatku sedikit tersentak, apa maksudnya?
"Bunga kesukaan saya, buat apa?"
"Iya, bunga kesukaan kamu, karena enggak ada pacar, biar aku beliin buat kamu aja, jadi pengganti pacar," jelasnya lalu tersenyum manis hingga menyipitkan mata.
Namun, hal itu malah membuatku heran, pemuda itu benar-benar aneh walau sedikit membuatku deg-degan. Sungguh, wajahnya memang tampan, ciptaan Allah di hadapanku memang indah. Astagfirullah, mengapa aku malah memujinya begini.
"Aku bingung mau milih bunga apa, soalnya ini buat Ibu mertua kamu."
Ucapannya kembali membuatku menaikan alis saat tengah membantu mencarikan bunganya. Semakin ke sini, dia semakin frontal saja.
"Terus mau dipilihin sama saya?" Aku menyesal menawarkan diri, terbukti dari jawaban pemuda itu yang menyebalkan.
"Kalau boleh, siapa tau Ibu suka sama bunga pilihan calon menantunya."
Sungguh nyes di hati, rasanya aku ingin kabur dari toko bunga ini. Aku bisa gila menghadapi pembeli sepertinya, walau semua orang akan memuji pemuda di hadapanku itu, karena dia sungguh memang memiliki wajah yang tampan, kulit putih, gayanya kekinian, hidung mancung dan suaranya yang ... tidak! Mana mungkin aku memuji dua kali orang yang baru kutemui.
Berhenti Jauza, dia adalah pelangganmu!
Jujur saja dia membuatku salah tingkah, entah karena jarang ada yang menggombaliku atau karena dia memang pandai membuat wanita jantungan.Setelah selesai memilih bunga, pemuda itu kemudian menghampiriku ke meja kasir.
"Langsung dibungkus, ya, sama notes juga, karena Ibu lagi ulang tahun.""Iya, ini notesnya." Aku menyerahkan kertas kecil untuknya. Dia pun segera menggoreskan tinta di atasnya, sedangkan aku masih sibuk membungkus bunga-bunga itu dengan rapi.
"Ibuku ulang tahun, loh, enggak mau ngucapin atau titip salam, atau doain calon Ibu mertua kamu?" tanyanya masih fokus menulis di notes tanpa melirik ke arah sini, meski ucapannya hampir membuatku tersedak ludah sendiri.
Mengapa dia terus menyebut ibunya calon mertuaku? Ya ampun, sepertinya dia minta dirukiah. Anehnya, mengapa aku harus gugup mendengarnya berucap demikian, mendadak membuatku bisu.
Malahan, garis wajahnya hampir membuatku lupa kalau dia hanyalah tamu. Bisa saja, kan, dia melakukannya terhadap semua wanita yang dia temui.
Aku lalu berdeham sebelum menjawab pertanyaannya. "Semoga Ibu kamu sehat selalu, panjang umur, dan menjadi istri sekaligus Ibu yang baik untuk keluarganya."
"Aamiin. Semoga kamu juga bisa jadi istri yang baik buat aku dan Ibu yang baik buat anak kita nanti," sahutnya sambil terkekeh manis ke arahku.
Ya Allah, mengapa dia manis sekali, meski ucapannya sedikit menjengkelkan dan ingin kujitak rasanya. Dia berhasil membuatku malu setengah mati.
Setelah selesai, pemuda itu kemudian memberikan setangkai bunga yang dia pilih untukku. "Buat kamu, sesuai janji tadi."
Bingung, aku hanya menyengir.
Dia kemudian menenteng bunganya dan berucap, "Makasih bunganya, jangan lupa masukin namaku di doa kamu. Assalamua'alaikum."
"Wa–wa'alaikumsalam."
Tanpa menunggu jawabanku, dia pergi begitu saja, sungguh lega rasanya. Akan tetapi, ada yang aneh, mengapa dia memintaku memasukkan namanya dalam doaku? Sedangkan kami tidak berkenalan atau mengetahui nama satu sama lain, memang dasar pemuda aneh.
Saat ingin beres-beres, aku menemukan sebuah note yang sepertinya tertinggal olehnya.
"Mas! Notesnya ketinggalan!" Aku berteriak, tetapi pemuda itu sudah keluar.
Kubaca isi kertas notes yang sudah ada tulisan tangannya di sana.
'Assalamualaikum gadis sholehah berjilbab pink pemilik senyum manis, namaku Nadif, salam kenal. Jangan anggap aku gila. Aku serius kok, jadi nggak perlu menunjukkan muka geli kayak tadi :-).'
Tu, kan, jantungku malah semakin berdetak tidak karuan, meski orangnya sudah pergi jauh dari toko, tetapi tulisannya membuatku hampir pingsan.
****
Selamat datang di cerita aku genre islami.
Selamat membaca ya.Ini sedang direvisi.
Kalau partnya rusak MOHON HAPUS DAN DOWNLOAD LAGI YA.Kasih voment juga.
Makasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Hijab Sakura | END
Spiritualﺑِﺴْﻢِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺍﻟﺮَّﺣْﻤَﻦِ ﺍﻟﺮَّﺣِﻴﻢ Bagaimana bisa saat tengah menunggu orang lain, gadis itu malah dilamar oleh Abang sahabatnya. Padahal ada lelaki tukang gombal yang sedang Jauza tunggu. Namun, mereka percaya, tidak ada yang salah ketika cinta d...