32. Salah

1.7K 51 10
                                    

Subuh, jarum jam singgah di angka lima. Leana terdiam, namun tidak mampu terpejam. Sudah dua malam leana hanya ditemani lampu temaram serta kesunyian yang mencekam. Leana yang malang, ia hampir selalu menangis pada setiap sela waktu mengingat tentang ayahnya. Dan tangannya tidak pernah absen untuk mengusap dengan kasar wajah lesunya. Di tengah duka yang menyelimutinya, yascha juga tidak terdengar kabarnya.

Rasanya baru kemarin telinga leana dipenuhi cerita tentang yascha yang masih menyisipkan kata sayang pada setiap kalimat yang terucap. Memang bukan suatu pertengkaran yang membuat mereka memutuskan tidak lagi sehangat mentari pagi, tapi justru itulah yang paling ditakutkan. Cerita kali ini terasa beku tak bermakna, tapi dunia tau jika leana masih berdiri untuk berandai-andai. Mereka masih saling memiliki, meski terasa telah diakhiri.

Leana merasa kalau yascha benar-benar berubah, terasa asing. Bukan karena tidak ada kata manis yang terselip dalam ucapannya, hanya saja tidak ada kehangatan dalam setiap kalimatnya. Ia ingin kembali ke masa yang telah lalu, masa dimana yascha tidak pernah menganggapnya angin lalu.

"Loe baik-baik aja kan le?" Tanya dhea yang baru saja terjaga. Buru-buru ia menghapus jejak air mata di pipinya.

"Gue baik-baik aja dhe."

"Loe masih kepikiran bapak?" Tebak dhea.

Leana mengangguk, itu lebih baik karena setengah dari alasannya mengeluarkan air mata adalah karena ayahnya.

"Loe boleh sedih, sangat lumrah bagi seorang manusia. Tapi jangan berlarut-larut ya le, loe masih punya kehidupan yang jauh lebih indah kedepannya. Gue juga yakin bokap loe mau loe bahagia, bukan terus sedih mikirin dia."

Bahagia? Apa iya kata itu akan menghampirinya suatu saat nanti? Leana pesimis. Semenjak kepergian ayahnya, hidup leana berubah drastis. Semua orang seperti meninggalkannya dalam kesendirian, kecuali dhea yang setia berteman. Mamah dan papah juga larut dalam kesedihan hingga mungkin mereka sendiri butuh waktu untuk menata perasaan. Tapi rasanya leana sedikit sulit untuk memaklumi yascha, ia bahkan tidak memberi kabar jika akan menginap di luar. Masih berartikah dirinya?

Leana menyadari, apa yang dikatakan dhea ada benarnya. Hartman tidak akan senang jika melihat leana meratapi kepergiannya berlarut-larut. Meski tidak secepat kilat, leana akan berusaha mengikhlaskannya. Tapi jangan pernah menyuruh leana melupakannya.

"Gue janji akan sampai hari ini, setelah itu gue akan cari cara lain untuk bahagia."

Dhea tersenyum mendengar keptusan bijak dari sahabatnya. Lalu dhea mengedarkan seluruh pandangan, namun tidak menemukan orang yang di carinya.

"Yascha nggak pulang lagi?" Tanya dhea curiga.

Leana mengangguk. Minggu lalu, tepat di hari yang sama yascha juga tidak pulang ke rumah dan ini untuk yang kedua kalinya. Ia sempat bertanya kemana suaminya, tapi yascha menjadikan pekerjaan sebagai tamengnya. Leana coba mengerti, tapi untuk yang kedua kali, ada sedikit perasaan kecewa yang menggerogotinya.

"Gue mau liatin sesuatu sama loe."

"Apa?"

"Tapi loe janji ga boleh gegabah."

"Iya."

Sebenarnya dhea tidak berniat mengatakan hal ini pada leana yang baru di timpa musibah, dan leana juga pasti terluka ketika melihatnya. Tapi tangannya sangat gatal dan ingin leana mengetahui kebenarannya. Dhea tidak ingin leana di bodohi lebih lama. Dengan begitu, setidaknya leana bisa mengambil keputusan apa yang akan dipilihnya.

"Gue kemarin ngeliat yascha sama cewe mesra banget. Mungkin kebiasaan lama dia kambuh?"

Tubuh leana menegang seketika. Ia lebih bahagia jika apa yang dikatakan dhea adalah candaan semata. Tidak, dhea memang hanya bercanda, itulah yang coba ia percaya. Kalaupun benar, itu pasti hanya rekan kerjanya saja.

Marry With Crazy JerkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang