37.1 Kehilangan

1.9K 47 12
                                    

Malam semakin kelam, tidak ada satupun bintang yang menghiasi langit kota bandung malam ini. Udara semakin dingin, namun leana masih setia termenung di teras lantai dua rumah itu. Rumah yang selama tiga bulan ini menjadi tempat bernaungnya, tempat yang menjadi saksi bagaimana ia memperjuangkan kehidupannya. Walaupun ia merasa tidak pernah benar-benar mendapatkannya.

Meskipun niat memutus hidup telah sirna, tapi leana tetap merasa kosong. Lagi-lagi ia merasa seperti berdiri di tengah lapisan es yang tipis, mau maju atau mundur leana tetap akan tercebur.

Keputusan yang di ambil leana kini tidak bisa hanya memikirkan egonya, karena sekarang ia tidak sendiri. Banyak pertimbangan karena ini bukan hanya tentang dirinya semata. Namun sebuah berkas yang sedari tadi di tatapnya menjadi sebuah bukti bahwa leana telah menentukan pilihannya. Sebuah keputusan terberat yang pernah di ambilnya. Sebuah keputusan yang dibenci Tuhannya. Sebuah keputusan yang jelas menyakiti siapapun yang terlibat di dalamnya.

Leana mengira, sampai akhir ia akan menjadi istri seorang inuyascha alfaturrahman. Seperti saat keinginan bunuh diri itu muncul tiga bulan yang lalu. Tapi nyatanya, Tuhan menyelamatkan nyawanya untuk mengakhiri hubungan sendiri.

"Loe kok masih di luar le? Emang nggak dingin? Itu udah gerimis, masuk cepetan! Nanti loe kena flu." Suara dhea mengintrupsi lamunan leana.

Melihat dhea akan menghampirinya ke balkon, leana melipat surat dari pengadilan agama itu sebelum menghampiri dhea.

"Iya iya, ini mau masuk." Leana mendorong dhea kembali ke kamar miliknya.

Tiga bulan lalu, setelah mengetahui jika leana tidak bisa mengeluarkan suaranya, tyas dan wildan membawa leana ke rumah sakit untuk melakukan berbagai macam pemeriksaan sampai ke detailnya. Tidak ada masalah apapun yang ditemukan pada pita suara leana dan semuanya baik-baik saja. Yang menjadi akar masalahnya adalah trauma.

Trauma atas kehilangan, trauma akan pengkhianatan, dan trauma akan kecelakan yang ia alami membuat leana berada pada satu titik yang paling menakutkan. Suara leana menghilang bersamaan dengan datangnya ketakutan berlebih. Leana pun menjalani terapi psikologis selama satu bulan penuh. Satu bulan masa terapi itu, leana di jauhkan sementara dari hal-hal yang membuatnya trauma. Makam, lautan, dan bahkan suaminya, yascha. Hari-hari leana hanya dipenuhi dokter, dhea, bi minah, dan kedua mertuanya. Usaha yang sangat tidak mudah sampai dokter berhasil membuat leana berbicara.

Sebenarnya leana merasa kasihan karena wildan dan tyas harus bolak balik jakarta-bandung hanya untuk hadir di sertiap terapi leana. Ia juga merasa menyesal karena menyusahkan dhea yang harus meninggalkan perusahaan dan mencari pekerjaan baru di bandung hanya untuk tinggal bersamanya. Saat itu leana sadar bahwa ketakutannya adalah sebuah kesalahan. Ia tidak sendiri di dunia ini, ada dhea dan mertuanya yang selalu ada bersamanya.

Aahh.. mertua. Tidak lama lagi leana harus rela melepas status itu.

Terkadang leana merasa aneh karena sejak kejadian itu sampai detik ini, leana tidak pernah sekalipun mendengar nama yascha terdengar di telinganya. Nama itu tidak pernah terucap seperti sebuah kata keramat yang haram untuk di sebut. Leana tidak pernah bertanya mengapa, karena ia takut akan jawaban yang lebih perih dari yang sebelumnya ia prediksi.

"Gue beliin loe pie yang loe minta. Loe kan kalau kepengen sesuatu tuh bener-bener ya nggak ngerti kata besok. Jangan-jangan loe ngidam." Celetuk dhea.

"Gimana caranya gue ngidam kalau suaminya aja nggak ada."

Dhea terkejut dengan balasan leana dalam menanggapi gurauannya. Ia tidak menyangka ada pembahasan seperti ini setelah tiga bulan diam.

"Kok loe nggak pernah bilang kalau kenal tetangga samping rumah?" Tanya leana untuk mengalihkan perhatian dhea yang sempat terdiam cukup lama.

"Tetangga samping rumah?"

Marry With Crazy JerkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang