06. Hutang

2.8K 83 0
                                    

"Kamu kedinginan?" Tanya yascha saat suara manik-manik di kebaya leana berdesakan karena sang empunya mengosoknya berkali-kali. Wajah pucat leana tidak terlihat karena sapuan makeup, jika tidak mungkin wajahnya sudah membiru menahan dingin.

"Tidak."

"Mau kopi? Kita bisa berhenti di cafe depan." Ucap yascha menawarkan.

Walaupun seorang pria, yascha termasuk orang yang sangat peka terhadap wanita. Leana kedinginan, itu terlihat jelas dari ekspresinya dan yascha tidak tega melihatnya. Kalaupun sekarang ia menawarkan jas yang digunakannya, sudah pasti leana akan menolak mentah-mentah perhatiannya.

"Tidak."

"Coklat panas?"

"Tidak."

Selain kedinginan, leana juga membatin. Jika tau leana kedinginan, tidak bisakah yascha diam dan berhenti mengajaknya bicara. Celotehan-celotehan yascha justru semakin membuatnya meradang. Jika bukan karena tyas yang memaksa, tidak akan pernah sekalipun ia mau duduk bersebelahan seperti sekarang dengan yascha.

"Bisakah kamu mengatakan hal lain selain tidak?"

"Tidak."

Malas berpikir, malas bicara, malas membuang energi untuk menjawab pertanyaan tidak penting yascha. Leana hanya butuh yascha diam dan mengabaikannya. Dengan begitu ia akan fokus untuk membuat tubuhnya lebih hangat.

"Ayolah, kamu bahkan tidak pernah bisa berkata tidak kepada orang lain. Lalu mengapa kamu selalu mengeluarkan kata itu untukku. Apa karena aku bajingan?"

Kata bajingan yang terucap dari bibir yascha berhasil membuat leana menoleh. Pandangan mereka bertemu pada satu titik yang sama. Leana sedikit merasa bersalah, sepertinya ia terlalu kejam saat terus menerus memanggil yascha brengsek. Terlebih saat yascha mengatakannya seolah bukan apa-apa, sepertinya ia sudah terbiasa aku panggil seperti itu.

"Iya." Jawab leana seraya mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Menatap hujan yang menenagkan. Indah walau punha satu kekurangan, dingin.

"Akhirnya kamu bilang iya. Kamu suka hujan? Dari tadi kamu terlihat begitu tertarik memandang hujan." Yascha memandang ke arah dimana mata leana tertuju.

"Iya."

Tidak ada suara apapun yang keluar dari bibir keduanya. Yascha sendiri baru kali ini terdiam di depan wanita, karena biasanya ia memiliki segudang pembahasan hanya untuk membuat wanita-wanita yang bersamanya terkesan. Tapi leana, dia berbeda. Dia bahkan tidak tertarik dengan ketampanan, kekayaan dan keramahan yascha.

"Kalau di banding mantan kamu apakah menurutmu aku lebih tampan?"

Hanya kalimat itu yang dapat dia pikirkan. Mungkin saja pembahasan tentang mantannya membuat leana lebih tertarik untuk berbicara dan menyingkirkan dua kata yang selalu di ucapkannya sejak tadi, iya dan tidak. Ada sekian juta kosakata bahasa indonesia dan leana hanya menghafal dua untuk yascha. Keterlaluan.

"Iya."

"Benarkah."

"Iya." Jawab leana tanpa eksperesi.

"Kenapa?"

"Iya."

Otaknya benar-benar buntu, ia kehabisan akal untuk membat leana buka suara. Jika kelamaan seperti itu, pesonanya akan benar-benar lutur tergerus kebekuan leana. Meskipun begitu, ini tantangan tersendiri untuk yascha.

"Kamu mendengar aku bicara kan?" Suara yascha terdengar geram.

"Iya."

"Bagaimana jika kamu memberiku sebuah ciuman selamat malam?" Permintaan yascha mendapat hadiah tatapan menghunus dari leana.

Marry With Crazy JerkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang