Langkahnya cepat menjejak satu persatu kotakan lantai bersama para suster yang lugas mendorong ranjang medical, memunculkan irama senada dengan ketukan teratur. Terlihat beberapa aliran keringat sebesar bijih jagung mengalir pada wajah leana. Rasa lelah, panik, dan takut tergambar begitu jelas pada wajahnya. keningnya yang berkerut mengisyaratkan bahwa pikiranya sangat kacau, lebih lelah dari tubuhnya. Korneanya hanya terpaku pada satu objek yang menjadi alasan ketakutannya. Langkahnya terhenti ketika pintu menjadi sekat penghalangnya masuk.
"Maaf, sebaiknya anda tunggu di luar, kami akan menangani pasien dan berusaha sebaik mungkin untuk menyelamatkannya." Suster melarang leana memasuki ruangan UGD.
"Tapi saya..." ucapnya menggantung ketika suster sudah menutup pintu yang memisahkan leana dengan Yascha.
Detik bertemu detik, menit bertemu menit, meski hanya sesaat, leana merasa waktu berjalan begitu lambat. Ia hanya diam dengan air mata yang enggan berhenti mengalir. Sekelibat ingatan tentang ucapan yascha kepadanya membuat tangis leana semakin deras.
'Jangan pernah menangis untukku, bahkan jika hari itu adalah hari kematianku.' Kalimat itu terngiang berulang kali dalam kepalanya. Leana kehilangan kata-kata, ia bagai orang bisu yang hanya mampu menatap nanar ke dalam ruangan tempat yascha berada. Tangannya ia letakan pada daun pintu dengan kening yang juga menempel di objek yang sama. Hatinya tidak luput merapal doa agar yascha baik-baik saja.
Tidak lebih dari sepuluh menit, dokter keluar dengan raut penyesalannya. Leana tidak berani bertanya, namun dokter seolah mengerti dan mengatakannya lebih dulu.
"Kami sudah beruasaha sebaik mungkin untuk menyelamatkan pasien. Namun Tuhan berkehendak lain. Pasien meninggal dunia."
Setelah mengatakannya dengan hati-hati, dokter diam sejenak, memberi waktu leana untuk berduka.
Otak leana tiba-tiba saja menjadi blank, tidak ada satu hal pun yang mampir di otaknya. Ia hanya sedikit bergumam "Bagaimana bisa?" Itu bukan pertanyaan yang ia ajukan untuk dokter, ia hanya tidak percaya dengan situasi dan keadaan saat ini. Ia pasti bermimpi. Namun dengan sigap dokter menjelaskan alasan kematian yascha yang membuatnya tersentak ke dunia nyata.
"Tulang rusuknya patah dan menyebabkan cedera ginjal yang sangat parah. Ginjalnya terkoyak dan bagian yang menempel ke pembuluh darah sempat mengakibatkan kejutan dan berujung kematian."
Wajah leana pucat pasi mendengar penjelasan dokter. Ia terhuyung dan kehilangan keseimbangan, tak mampu menopang berat tubuhnya sendiri. Ia bersandar pada sebuah kursi di belakangnya. Dadanya begitu sesak seolah berjuta-juta beban menghimpitnya, kepalanya terasa pening seolah-olah langit runtuh di atasnya. ingatannya menerawang jauh saat kenangan-kenangan mereka bersama. Dan yang menjadi penyesalan terbesarnya ada sederet kalimat kejam yang leana lontarkan untuk membuat yascha menjauhinya.
Leana tak sanggup membayangkan itu semua. Air matanya menitik, semakin lama semakin deras. Kini ia mulai terisak hingga nafasnya tersenggal karena tangisan luapan dari perasaan terlukanya. Tubuhnya mulai terjatuh dan tersungkur seketika. Rasa sakit yang luar biasa kembali menusuk jantungnya, dan tiba-tiba ia histeris, menangis sejadi-jadinya. Ia berharap kalau dia bisa menggantikan posisi suaminya itu dan berharap apa yang telah terjadi kini hanyalah sebuah mimipi buruk yang akan segera berahir. Karena baginya kehilangan yascha sama seperti khilangan sebagian jiwanya.
"Kami turut berduka." Dokter berjalan dengan tenang dan meningalkan leana yang masih masih menangis histeris.
Tiba-tiba saja pintu ruangan terbuka dengan keras dan menampakan seorang suster yang terponggoh-ponggoh memanggil dokter. Dari tempatnya berdiri, leana melihat suster berbicara dengan dokter dan mereka terburu-buru kembali ke ruangan yascha.
🌻🌻🌻
Kini, di dalam ruangan intensif care RS sentosa itulah yascha terbaring dan tak sadarkan diri. Sedangkan leana, masih berdiri mematung. Suasana terlihat tenang namun mengharukan, hanya segelintir suster berlalu lalang melewati keterpakuan leana. Waktu terus berjalan dan malam semakin kelam. Semua orang berlalu meninggalkan kesunyian, hanya tinggal leana yang tersisa, berdiri di depan pintu dan tertegun memandang ruangan dimana suaminya sedang berjuang mempertahankan hidupnya dari kematian.
Leana masih berdiri kokoh di depan ruangan tersebut, namun itu hanya tubuhnya, tidak dengan hatinya. Tak ada satu katapun yang keluar dari bibirnya sejak mendengar penjelasan dokter yang sungguh menyayat hatinya. Entah pukulan paling berat apa yang akan diterimanya setelah ini, tapi ini sudah paling berat untuknya. Dia tak ingin ada pukulan yang lebih berat dari ini.
"Leana!" Sebuah tepukan diiringi suara lembut membuat leana tersadar.
"Mamah." Gumam leana seraya menghambur ke pelukan tyas.
Leana menangis sampai nafasnya tersenggal. Ia memeluk tyas dengan begitu erat seolah tyas adalah pegangan yang jika terlepas ia tidak akan selamat.
"Sabar, sayang, leana, semuanya akan baik-baik saja, nak. Yascha akan baik-baik saja. Percaya sama mamah." Tyas juga tidak mampu membendung tangisnya. Ia begitu terpukul saat mengetahui yascha kecelakaan parah dan dalam masa kritis, namun tyas lebih tau jika leana jauh lebih terpukul karena kejadian itu tepat di depan matanya. Rasa bersalah, ketakutan dan keputusasaan di mata leana begitu jelas tergambar. Tubuhnya yang bergetar hebat begitu terasa.
Wildan yang saat itu datang bersama tyas menghampiri mereka.
"Yang tabah nak! Kita berdoa saja yang terbaik untuk yascha." Ucap wildan serak sambil mengelus pucuk kepala leana yang masih erat dalam dekapan tyas.
"Kamu istirahat ya sayang!? Biar kami yang jaga yascha." Tyas berusaha menuntun tubuh gemetar leana agar duduk. Namun leana menggeleng.
"Semuanya salah lea, mah." Isak leana.
"Jangan berkata seperti itu, sayang!"
"Saat lea bilang pada yascha untuk tidak berurusan satu sama lain lagi, bukan ini yang lea inginkan. Lea cuma mau yascha bahagia. Yascha selalu mengatakan jika ia tidak bisa hidup tanpa lea, dia memohon agar lea kembali, tapi lea malah mendorongnya pergi. Yascha datang cuma mau minta maaf sama lea, tapi lea malah mengatakan semua hal-hal kejam pada yascha. Leana sangat mencintai yascha mah, katakan padanya untuk bangun!"
"Ssttt... mamah tau kamu sangat mencintainya. Jangan menyalahkan dirimu karena ini takdir Tuhan."
"Katakan padanya untuk tidak pergi sebelum lea meninggalkannya!"
Tyas mengangguk sambil mengelus punggung leana yang masih dalam pelukannya.
"Yascha akan segera sadar, sayang."
"Kalau yascha pergi, lea mau ikut." Cicit leana.
Tyas dan wildan tersentak. Itu yang dikatakan yascha beberapa bulan lalu.
"Jangan berbicara sembarangan lea, tidak akan ada yang pergi. Mamah mohon kamu tenang, sayang."
Wildan memberi isyarat agar tyas membawa leana untuk istirahat. Namun tubuh yang coba dituntun tyas itu tiba-tiba melemah dan leana tidak sadarkan diri.
"Leana, bangun sayang!" Seru tyas panik.
"Leana!" Wildan ikut terkejut sebelum akhirnya menggendong leana untuk mencari dokter.
Tyas hanya menatap leana yang sedang di periksa dokter dengan pandangan dan wajah yang sedih. Ia menyeka air matanya dengan kasar, kemudian ia tertunduk. Sepertinya sekarang tyas mulai mencoba bersikap tegar lagi, tetepi matanya tak dapat di bohongi, karena kesedihan itu terlihat sangat jelas pada raut wajahnya. Sesering iya menyeka air matanya, sesering itu pula air matanya kembali mengalir. Wildan mendekap tubuh tyas dan berusaha menenangkannya.
"Semua akan baik-baik saja. Yascha dan leana akan terus hidup bersama hingga seribu tahun lagi."
🌻🌻🌻
TBC...
KAMU SEDANG MEMBACA
Marry With Crazy Jerk
RomanceRasanya di jodohkan saat punya pacar itu, seperti dihimpit dari dua sisi. Tidak bisa bilang karena takut pacarmu marah, juga tidak bisa menolak karena perintah ayah. Satu-satunya jalan tengah yang bisa dipilih adalah kabur dari rumah sampai ayahmu m...