9

6.3K 248 3
                                    

Halo, Lucia?"

"Senior Ketiga," balas Lucia dengan suara rendah.

"Bukankah ini sudah malam di tempatmu? Kenapa menelponku?"

"Kapan kamu kembali? Bukankah misimu selesai besok?"

Tak ada jawaban untuk beberapa saat. Lucia sendiri juga terdiam, tak tahu harus mengatakan apa.

"Ah, seperti aku harus tetap di sini untuk beberapa saat. Ada beberapa masalah yang..."

"Apa itu perintah Sean?" potong Lucia.

"Yah, seperti yang kamu tahu," ucap Ivan lalu mendesah.

Lucia tertunduk. "Maafkan aku," ucapnya hampir tak terdengar.

"Hei, ini bukan salahmu," ucap Ivan berusaha menghibur. "Ah, lagipula di sini tidak terlalu buruk. Setidaknya hidupku tidak akan terancam untuk sementara waktu. Oh, ya! Apa kamu sudah menerima hadiahku? Itu spesial untukmu! Aku akan segera menemuimu."

"Aku akan kembali besok," sahut Lucia.

"Kembali? Kembali ke mana?" Ivan terdengar kebingungan.

"Indonesia."

"Kamu benar-benar ingin kembali?" tanya Ivan dan suaranya berubah agak suram.

"Aku harus kembali," jawab Lucia tegas.

"Setan memperbolehkanmu?" tanya Ivan ragu.

Lucia mengiyakan.

"Ah, kenapa itu tidak terdengar seperti Setan yang biasanya?"

"Entahlah," ucap Lucia lemah. "Mungkin... dia berubah?"

Ivan tertawa pelan. "Mendengarnya berubah membuatku takut."

"Senior Ketiga," panggil Lucia menghentikan tawa Ivan.

"Terima kasih."

Ivan tertawa miris. "Hei, tidak perlu berterima kasih; kita keluarga."

"Senior Ketiga," panggil Lucia lagi.

"Hn?"

"Aku merindukanmu."

"Aku juga," balas Ivan pelan.

"Kapten Ivan! Kapten, target di arah jam sepuluh!"

"Kapten, penembak jitu sudah siap di tempat."

"Kapten, ada panggilan dari atasan!"

"Musuh mulai bergerak!"

Lucia mendengar suara samar-samar dari ujung telepon. "Apa kamu sedang bertugas?"

"Apa kamu mendengarnya?" Ivan balik bertanya.

"Selesaikan tugasmu, berhati-hatilah!" ucap Lucia lalu mematikan telepon.

"Selamat tinggal."

Ivan menatap layar ponselnya yang mati. Dia terdiam untuk sesaat sebelum mendesah panjang dan berbalik ke arah bawahannya. "Mulai operasi!"

Lucia menatap bayangan dirinya di cermin kemudian hadiah Peirre.

Hari ini dia sudah bebas dan Sean berjanji tidak akan menghalanginya. Dia ingin kembali tapi... yah, dia tidak mau mengakuinya tapi dia benar-benar takut!

Bayangan kejadian empat tahun lalu terus menghantuinya. Bagaimana keluarganya membuang dia, bagaimana saudara dan kekasihnya yang menjebaknya, dia tidak akan melupakan semua itu!

Lucia tersenyum dingin. Mereka sudah memutuskan hubungan darah diantara mereka. Jadi, jangan salahkan dia kalau dia berbuat kejam!

Dengan langkah mantap, dia mulai mencoba menggunakan make up dan gaun merah muda dari Pierre.

Hm, dia harus mengakui bahwa selera pria itu memang cukup bagus!

Tepat setelah Lucia memikirkan itu, ponselnya berdering.

"Senior Kedua?" sapa Lucia.

"Temani aku," ucap Pierre terdengar kelelahan.

Alis Lucia berkerut. "Dimana kamu?"

"Gudang anggur di-"

"Aku akan segera ke sana," ucap Lucia lalu segera mematikan telepon.

Dia melirik sekilas bayangan dirinya di cermin sebelum keluar ruangan.

Hmph, pria itu selalu menyusahkannya!

***

Lucia bergegas membuka pintu gudang dan menemukan sosok ramping yang tergeletak di lantai.

"Senior Kedua," panggil Lucia lalu bergegas menghampirinya.

"Ah, siapa ini? Apakah ini kelinci putih kecilku yang hilang?" ucap Pierre sambil menyipitkan matanya saat melihat Lucia yang terlihat berbeda dengan make up dan gaun hadiahnya.

"Senior Kedua, kamu mabuk," ucap Lucia saat mencium bau alkohol yang kuat dari tubuh Pierre.

Pierre tertawa. "Senior? Kamu sudah bukan anggota kami, kenapa masih memanggilku Senior Kedua?"

"Hentikan omong kosong mu dan bangun! Kamu begitu berat." Lucia mengenakan sarung tangan sebelum menarik tangan Pierre, berusaha membangunkannya.

"Hei, apa kamu tidak menyukaiku?" tanya Pierre.

Lucia tak menjawab, acuh tak acuh.

"Sejak pertama kamu datang sampai hari ini kamu selalu dingin kepadaku. Kenapa?" tanya Pierre dengan wajah seolah-olah dia adalah gadis yang diintimidasi.

Lucia menghentikan usahanya dan menatap mata Pierre dalam-dalam. "Karena kamu terlalu tampan."

Pierre tertawa. "Apa kamu memujiku?"

"Sayangnya, itu bukan pujian," gumam Lucia lalu mengangkat Pierre ala bridal style.

"Hei, apa yang kamu lakukan?" protes Pierre.

"Membawamu pulang," ucap Lucia datar.

Pierre tertawa pelan lalu bersandar pada bahu Lucia, detik berikutnya dia sudah tertidur.

Lucia pergi dan sesekali melirik wajah polos Pierre yang terlelap di pelukannya. "Kamu yang terbaik."

Satan and Demon [SUDAH DIKONTRAK]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang