Jasper mendengus. "Aku datang bukan karena perintahmu, oke?!" ucapnya ketus. "Aku juga lapar."
"Ya, ya, ya, kamu lapar."
"Aku serius!"
Arthur mengangguk.
Jasper melihat Arthur yang masa bodoh dan hatinya semakin dongkol. "Ada apa?"
Arthur mengalihkan tatapannya dari buku menu. "Aku tidak tahu apakah aku harus menceritakan ini atau tidak," ucapnya sambil menyentuh dagunya.
"Kalau kamu tidak mau, tidak perlu mengatakan apa-apa," sahut Jasper dengan tidak sabar.
"Ini tentang Lucia."
Jasper menegakkan tubuhnya. "Maksudku, apapun yang terjadi, kamu harus menceritakannya padaku, terutama tentang gadis itu. Yah, kita teman, bukan?"
"Kamu mem-blacklist aku dari tempatmu," ucap Arthur.
Jasper menyeringai. Dia menatap Arthur dari atas ke bawah. "Yah, kalau kamu berdandan seperti terakhir kali, aku mungkin akan membiarkanmu masuk."
Sudut bibir Arthur berkedut. "Brengsek, apa kamu memiliki fetish yang tidak terkatakan?" tanyanya dengan senyuman cerah diwajahnya, kontras dengan ucapan yang dia katakan.
Jasper terkekeh pelan. "Bahkan kalau aku memilikinya, aku tidak akan tertarik padamu."
Jadi, saat pelayan restoran datang untuk mencatat pesanan mereka, dia melihat kedua pria yang saling bertatapan dengan intens.
"Tuan-tuan, maaf mengganggu saat-saat intim kalian tapi..."
"Intim?" sela Jasper. Dia melirik pelayan itu dengan tajam.
Arthur menyesap anggur miliknya. "Itu tidak terdengar buruk," komentarnya. "Bukankah begitu?"
Jasper menatap Arthur dan tersenyum. "Ya, tidak buruk," ucapnya sambil berusaha menahan amarahnya.
Arthur menghela napas. "Mari kita akhiri omong kosong ini," ucapnya.
Dia melirik pelayan yang berdiri di sampingnya. Pelayan itu sepertinya sudah biasa menghadapi situasi semacam ini dan dengan bijak pergi.
Jasper menatap Arthur, terlihat serius.
"Apa kamu tahu Dimas?" tanya Arthur.
"Hmm. Saudara Adi? Aku tahu."
"Dia sedang mengejar Lucia."
Jasper langsung tersedak anggur yang dia minum. "Apa kamu becanda?!"
Arthur menatap Jasper dengan jijik lalu menyerahkan sapu tangannya kepada pria itu. "Apa aku terlihat seperti sedang becanda?"
"Dari mana kamu tahu?" Jasper balik bertanya.
"Dia mengatakannya sendiri."
Jasper berdecak kesal. "Sial! Sainganku bertambah!"
"Menurutmu, apa yang harus kita lakukan?" tanya Arthur ragu.
"Tentu saja kita harus menghalanginya!" seru Jasper. "Bukankah kamu juga berpikir seperti itu? Lucia tidak boleh dimiliki orang lain!"
Arthur menggeleng. "Aku rasa tidak."
Jasper menatap Arthur dengan tatapan kosong. "Hah? Bukankah kamu juga menyukainya?"
Arthur membenarkan posisi duduknya. "Tidak. Aku rasa kamu nungkin kamu salah paham di suatu tempat," ucapnya. "Aku tidak menyukainya sepertimu, tidak secara romantis. Bagiku, dia seperti sebuah kepercayaan yang selalu aku ikuti dan hormati secara membabi buta."
"Jasper, dia lebih daripada seorang gadis bagiku. Kamu harus mengerti itu."
Jasper menatap Arthur dan tak bisa berkata-kata untuk waktu yang lama.
"Tuan," sela seorang pelayan yang membawa berbagai macam hidangan. Pelayan itu membungkuk sedikit sebelum dengan hati-hati menyajikan hidangan yang dia bawa. "Selamat menikmati."
Arthur dan Jasper tidak menyahut, hanya saling bertatapan untuk waktu yang lama, membuat pelayan itu memerah karena malu.
Setelah beberapa saat, Jasper membuang mukanya dan berdecak dengan kesal. "Apakah ini berarti aku harus melawan Dimas sendirian?"
Arthur mengangkat bahu. "Aku tidak tahu. Aku tidak mengenal pria itu dengan baik. Jika dia memang pantas untuk Lucia dan tidak melewati batas, aku tidak akan menghalanginya. Jika dia kotor dan tidak memiliki niat baik, aku akan bergabung denganmu."
Seberkas cahaya melintas di mata Jasper. "Kamu akan bergabung denganku?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Satan and Demon [SUDAH DIKONTRAK]
Romance"Aku sudah menyelamatkan nyawamu. Jadi, bayar aku... dengan tubuhmu." Lucia: "..." "Nona, apa kamu yang menyelamatkanku? Kalau begitu, biarkan aku membayar dengan tubuhku." Lucia: "!!!" *** Lucia dibuang oleh keluarganya, ditinggalkan kekasihnya , d...