14

3.9K 181 7
                                    

Lucia terbangun dengan kacau. Dia menatap sekelilingnya linglung. Ini... kamarnya?

Seingatnya, dia akan pergi memberi beberapa bajingan pelajaran. Kenapa dia ada di sini?

Lucia terdiam sesaat sebelum akhirnya mengumpat. "Arthur sialan!"

Dia buru-buru mengambil ponselnya, tetapi tidak ada. Dengan cepat, dia keluar untuk mencari Arthur.

"Mau kemana?"

Lucia mengangkat kepalanya dan melihat seorang pria yang sedang bersantai di ruang tamu.

Wajahnya yang lembut dan halus terlihat bercahaya di bawah sinar matahari. Pria itu menyesap kopinya sejenak lalu melirik Lucia dan tersenyum tipis. "Kamu bangun?"

Untuk sejenak, Lucia merasa tersesat karena senyumannya. Itu terasa tidak nyata... seperti mimpi.

"Arthur! Kembalikan ponselku!" bentak Lucia setelah puas mengagumi keindahan di depannya.

Arthur berpura-pura menghela napas panjang. "Aku sudah berusaha keras menjadi keindahan yang lembut untuk membuatmu melupakan benda mati itu. Kenapa kamu tidak mau menghargainya?"

"Arthur!"

"Kenapa tidak memanggilku kakak lagi?" tanya Arthur.

Lucia melotot. Wajahnya memerah karena terlalu marah. Sejak dulu, Lucia memang punya kebiasaan memanggil nama Arthur setiap kesal. Itu hanya terjadi begitu saja dan terus sampai saat ini.

Arthur tersenyum geli lalu kembali menyibukkan diri dengan kopinya. Sial! Kenapa kopi ini begitu pahit?

Arthur mengerutkan keningnya tak suka sebelum memutuskan untuk kembali bertingkah elegan di depan Lucia. Aku heran kenapa Lucia sangat menyukai kopi...

"Hentikan itu," tegur Lucia dingin. "Aku tahu kamu membenci kopi."

Arthur terus meminum kopi, tidak menghiraukan ucapan Lucia sedikit pun.

Lucia mendengus dingin lalu pergi karena kesal.

Arthur buru-buru meludahkan kopinya setelah memastikan bahwa Lucia benar-benar pergi. Dia tersenyum pahit saat memikirkan betapa konyolnya dia melakukan semuanya untuk Lucia. Hanya karena Lucia menyukai kopi, dia juga meminumnya. Itu... bodoh sekali tapi dia tetap melakukannya.

***

"Bodoh," gumam Lucia saat mendengar nada dering ponselnya yang tidak asing dari dalam kamar Arthur.

Lucia menyapukan pandangan ke sekelilingnya sebelum memasuki kamar Arthur dengan mengendap-endap. Dia tersenyum puas saat menemukan ponselnya di balik bantal.

Tetapi, itu tidak bertahan lama karena matanya langsung berubah suram saat melihat nama yang tertera di layar ponselnya.

"Bos, bagaimana dengan keluarga Halim? Apa yang harus kita lakukan?" Orang di seberang telepon terdengar ragu. Dia berusaha menelpon bosnya sejak semalam tapi tidak ada berita dan tidak tahu harus melakukan apa.

"Aku akan datang ke kantor," ucap Lucia dan segera mematikan telepon tanpa menunggu jawabannya.

***

"Apa yang akan kamu lakukan?"

Arthur terdiam saat mendengar pertanyaan dari seberang telepon.

"Hei!" Orang di seberang telepon terdengar tak sabar.

"Biarkan dia menanganinya sendiri," ucap Arthur kemudian.

"Bajingan kau! Sialan!" umpatnya marah. "Apa gunanya aku memberimu informasi itu kalau begitu?!"

"Jesper, dia ingin membunuh dengan tangannya sendiri," ucap Arthur.

"Tapi..."

Arthur langsung mematikan sambungan telepon tanpa menunggu Jesper menyelesaikan ucapannya. "Berisik sekali."

Arthur mendengus kesal saat melihat kasurnya yang berantakan. Tadinya dia ingin mengembalikan ponsel milik Lucia. Tetapi sepertinya gadis itu terlalu tidak sabaran.

Di sudut ruangan Zero Bar, seorang pria berambut pirang terlihat sendirian di antara orang-orang yang tenggelam dalam keramaian.

Tidak ada yang berani mendekatinya walaupun mereka ingin. Pria ini terlihat santai dan mudah didekati tapi sebenarnya itu hanya topeng. Tidak ada yang bisa menjamin nyawamu jika kamu berdiri kurang dari tiga langkah darinya.

Pria itu tak menghiraukan tatapan orang-orang di sekelilingnya dan terus menatap layar ponselnya dengan senyum mengerikan. "Pria ini, aku akan membunuhnya seandainya dia bukan orang kepercayaan Missy."

Dia mendesah panjang. "Ah, aku merindukan Missy!"

Satan and Demon [SUDAH DIKONTRAK]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang