Chapter 42

82.9K 8K 2.9K
                                    

Ada yang masih kuat bertahan mengikuti cerita ini? 😂 Mohon koreksinya ya kalau ada typo atau ucapan yang keliru 🙏🏻 5500 kataa yayy 🙌🏻🙌🏻




Happy Reading


Di tengah keramaian kota Singapur yang hari itu dirundung mendung pekat, anak lelaki yang bahkan belum genap berusia enam tahun itu menyaru bersama semua orang selepas dirinya keluar dari minimarket sambil membawa dua kantung belanjaan di kedua tangannya. Lalu-lalang orang-orang yang sesekali menabrak tubuhnya, membuat ia memelankan langkah lebih waspada saat para orang dewasa itu berlarian menepi saat titik-titik hujan mulai berjatuhan perlahan.

Entakkan langkahnya dipercepat ketika hujan kian membesar mengguyur setiap benda atau pun makhluk bernyawa yang menantang dinginnya guyurannya. Bocah itu tidak peduli, tetap menerjang hujan, tanpa mau menepi barang sedetik, meski tubuhnya kini telah basah kuyup dan meringis kedinginan sambil berharap langkahnya bisa segera membawa ia ke tempat tujuan. Apartemen yang ditempatinya bersama ibunya.

Ia memasukan kantung kecil berisi makanan siap saji yang dibungkus rapi ke dalam jaket agar panasnya tidak menguap sehingga bisa langsung ia santap tanpa harus memanaskan ke dalam microwave setibanya di sana. Langkah kecilnya dipaksakan berlarian sekali lagi tak kala gelapnya setiap sudut pusat kota Singapur menaungi langit disertai petir yang memekakan gendang telinga membuat dirinya menutup telinga sesekali.

Tiba di lobi apartemen, Security di depan menyapa hangat, memperlihatkan raut kasihan yang dibalas bocah itu seulas senyuman meski bibirnya menggigil kedinginan. Bukan pemandangan aneh bagi para security di sana selama hampir enam bulan ini melihat bocah itu hilir mudik sendirian membawa kantung belanjaan. Ia akan melompat beberapa kali untuk menggapai tombol lift dan masuk ke dalam menekan tombol yang akan membawanya ke lantai lima belas.

Setengah jam, ia berdiri mengetuk pintu apartemen, menekan bel, mengetuk lagi, terus dilakukannya berulang-ulang dan belum ada sahutan dari dalam. Suaranya menyerak, kepalan kecilnya dientakkan pelan pada daun pintu sambil tidak hentinya memanggil ibunya.

"Mommy, Eden pulang. Buka pintunya,"

"Mommy, di sini dingin. Buka pintunya," jemari tangan yang berkerut pucat, mengusap air matanya yang jatuh membasahi pipi. Dulu, ia tidak pernah menangis, karena Daddy-nya selalu mengatakan, anak lelaki pantang menangis. Tapi sekarang, ia jadi sering menangis saat dirinya dipaksa merawat dirinya sendiri di tempat asing yang sulit ia mengerti mengapa ia harus berada di sini. Liburan. Adalah apa yang enam bulan lalu ibunya sampaikan. Namun, enam bulan berlalu, apartemen ini masih menjadi tempatnya tinggal sampai hari ini.

"Mommy marah? Tolong buka pintunya. Eden mau masuk," tubuhnya berjongkok, menyerah untuk memanggil lagi ketika pita suaranya kian menyerak. Ia meletakkan dua kantung belanjaan yang didominasi mie instan—ke lantai ketika tanda-tanda pintu akan dibuka belum dapat ia rasakan. Tidak ada langkah yang menghampiri, entah ibunya ada di dalam, atau dia sedang pergi.

Ia duduk di lantai pada akhirnya, menyandarkan punggung kecilnya pada pintu dengan seluruh tubuh yang gemetar. Ia mengeluarkan makanannya dari balik jaket. Kemasan makanan siap saji yang semula rapi, kini berubah penyok. Ia mendesah pelan. Walau ia masukkan ke dalam, tetap saja panasnya makanan sudah menguap. Kandas harapannya untuk bisa menyantap makanan ini dalam keadaan hangat.

Makanan itu sudah habis dilahapnya, tapi perutnya masih lapar. Sisa satu yang ia belikan untuk ibunya, tapi ia tidak berani menyantapnya. Ibunya dari pagi juga belum makan.

Lost StarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang