Chapter 9

71.9K 7.1K 231
                                    

Hai... maaf ya kalau updatenya rada ngaret. Ini aku lagi kegilaan hobi lama. Ngepoin alam semesta 😂🤕 Susah jadi nulisnya. Di otak yang ada cuma segala macam teori Galaxy etc 🤒 🤒

Mulmed: Lost Stars
                 Adam Levine


Happy Reading


Lovely merangkak ke lantai dari atas tempat tidurnya ketika mendengar ponselnya yang ada di bawah meja belajar kembali berdering. Kedua matanya masih rapat terpejam, ia hanya mengikuti insting manusianya saja mendekati sumber suara.

Saat tiba di dekat ponsel, deringannya sudah mati. Kepalanya yang sempat terangkat sedikit kembali ambruk di lantai dengan tangan di atas ponsel.

Dari tengah malam, ponselnya terus meraung-raung minta diangkat. Ia tidak angkat, rasa kantuk mengalahkan segalanya. Apalagi ia harus berangkat pagi—hari ini dikarenakan jadwal normal kuliah. Sudah beberapa malam ia tidak tidur dengan nyenyak. Dan semalam, ia berusaha menerima dan melupakan kejadian itu, akhirnya kedua matanya dapat terpejam dengan tenang.

Ia mendesah. Ini senin. Ia akan masuk layaknya mereka. Kemungkinan besar, pasti ia akan bertemu dengan Jayden. Ia harap, ia bisa menarik ucapan malam minggu kemarin perihal ini pada Neneknya. Tetapi berat. Tidak jauh berbeda dengan rindunya Dilan pada Millea. Malah lebih berat.

Lovely terperanjat ketika sekali lagi ponselnya berbunyi. Ia lantas menarik dengan malas dan menghadapkan matanya pada layar.

Keningnya berkerut, mengingat-ingat, nomor siapa ini? Seingatnya tidak ada kenalan dengan dua digit nomor terakhir yang kini tertera di layar. Ia memang mengingat lumayan banyak nomor. Itu karena tidak banyak juga nomor telepon yang pernah menghubunginya. Paling banyak dalam sebulan, hanya lima nomor yang sering terpajang pada ponsel. Yakni; Neneknya, Dellia, manajer di restoran, Ibu dari anak yang ia tutori, dan anak remaja SMPnya, Jimmy. Begitu terus sampai bulan berganti.

Ia menggeser layar, dan mendekatkan pada telinga. Suara gemerisik terdengar di seberang sana. Ia melenguh pelan mengganti posisi—duduk, bersandar pada dinding.

"Halo?"

"Oh wow!" suara itu terdengar syok, atau antusias, atau apapun—karena bukannya menjawab dengan sapaan layaknya manusia normal, suara itu malah berseru. Suara pria.

Lovely menjauhkan dari telinga, ia berdecak, tanpa ba-bi-bu, langsung dimatikannya. Orang iseng. Pagi-pagi sudah ribut saja. Pikirnya, lalu meletakkan ponselnya ke atas meja setelah mengamati layarnya. Ia mengurut dada bersyukur di sana tidak mengalami retak gara-gara kelakuan anarkisnya semalam.

Semalam, karena kesal, ia meraih ponselnya dan mematikan panggilan. Saat berniat meletakkan di meja nakas dekat tempat tidur dengan sedikit membanting, tapi malah terpelanting ke lantai sampai ke bawah meja.

Entah hanya dia saja, atau orang lain pun memang sering seperti ini. Kesal ketika sedang tidur nyenyak, ponsel malah berdering. Sebutlah, ia memiliki tabiat yang memuakkan. Lagipula, ia malas bercakap-cakap. Apalagi dengan nomor tidak jelas yang entah datang dari mana.

Ia pun perlahan bangun dari duduknya ketika melihat waktu sudah menunjukkan pukul setengah 7. Suara ponsel lagi-lagi berdering yang tidak Lovely acuhkan. Masuk ke dalam kamar mandi, Lovely memerhatikan wajahnya di depan cermin.

Bekas luka di wajahnya akibat kecelakaan itu sudah memudar.

Ia tersenyum seraya meraba bekas luka itu. "Ayah, sudah hampir hilang." Sekian tahun berlalu, ketika mengingat sosok itu, hatinya menghangat. Sosok Ayah sekaligus Ibu baginya. Sosok bijaksana dan penuh kasih sayang yang tidak pernah tergantikan di hatinya.

Lost StarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang