Ruangan itu gelap.Gelap dan sunyi, hingga bunyi klik ketika Hyungseob menutup pintu terdengar begitu keras.
Dengan gugup Hyungseob menelan ludah.
'Kenapa sepi? Kemana Woojin? Apa Woojin mungkin pulang ke rumahnya? Apa mungkin dia tidak tahu kalau Hyungseob belum pulang? Syukurlah kalau begitu kejadiannya.'
Hyungseob berusaha menenangkan dirinya, tapi tetap saja tidak bisa menyembunyikan rasa gugupnya menghadapi apa yang akan terjadi, seperti hitungan mundur penantian sebuah bom yang akan meledak saja.
Dan bom itu memang meledak.
Dalam hitungan beberapa menit pintu depan terbuka.
Tidak, bukan terbuka, tapi terdorong dengan kasarnya, dan lampu-lampu langsung menyala.
Woojin tampak begitu menakutkan, matanya menyala-nyala, rambutnya acak-acakan, bahkan pakaiannya yang biasanya selalu elegan dan rapi tampak kusut masai.
Yang pasti, lelaki itu kelihatan begitu murka mendapati Hyungseob berdiri di ruang tamu apartemen ituㅡhanya menatapnya.
Dengan gerakan kasar dia meraih pundak Hyungseob dan mengguncangnya begitu keras sampai Hyungseob merasa pusing.
"Kemana saja KAU?????!!!" Teriak Woojin lepas kendali.
Hyungseob berusaha menjawab, tetapi kepalanya terasa pusing karena Woojin masih mengguncangnya.
"Aku mencarimu ke segala penjuru, kau tahu????!!!" Woojin masih berteriak. “Semua rumah sakit bersalin di kota ini aku datangi satu persatu, tapi kau tidak ada!!!! Kemana saja KAU????"
"Woojin, kalau kau terus mengguncangnya seperti itu, dia akan muntah sebentar lagi."
Sebuah suara tenang terdengar di belakang Woojin, membuat lelaki itu terpaku, seolah-olah baru menyadari kehadiran sosok di belakangnya.
Jinyoung berdiri dengan santai sambil menyandarkan tubuhnya di dinding dekat pintu. Sepertinya menikmati pemandangan Hyungseob yang didamprat oleh Woojin.
Woojin menarik napas dalam-dalam beberapa kali, berusaha mengontrol emosinya.
Sialan benar Hyungseob!!! Sialan benar pria ini!!! Tidak tahukah dia begitu cemas tadi ketika sampai malam Hyungseob tidak juga pulang?? Tak tahukah dia betapa hati Woojin dicengkeram ketakutan yang amat sangat ketika mencoba menghubungi Hyungseob dan menemukan bahwa ponselnya mati???
Beribu pikiran buruk tadi berkecamuk di dalam benak Woojin, bagaimana kalau Hyungseob kecelakaan?
Atau dia menjadi korban kejahatan???!!!! Bagaimana kalau Hyungseob terluka parah dan tidak dapat datang kepadanya untuk meminta pertolongan???
Dan sekarang, menemukan pria itu berdiri di ruang tamu apartemennyaㅡtanpa kekurangan suatu apapun, membuat Woojin dibanjiri perasaan lega yang amat sangat.
Lega sekaligus murka, murka karena Hyungseob telah membuatnya kacau balau, murka karena Hyungseob telah membuatnya berubah dari Woojin yang tenang menjadi Woojin yang kacau, murka karena Hyungseob telah menumbuhkan sebentuk perasaan yang tidak ia kenal sebelumnya.
"Pro... Proses melahirkan temanku bermasalah.... Dia... Dia eh... Harus.... Dioperasi...."
Hyungseob masih berusaha mengumpulkan nafasnya, diguncang dengan begitu kerasnya membuat pandangannya berkunang-kunang.
Tangan Woojin yang masih berada di pundaknya mencengkeramnya kuat. "Kalau begitu, apa susahnya meneleponku??!!! Kenapa kau matikan ponselmu, hah??!!"
Hyungseob mengerjapkan matanya gugup, "Baterai ponselku... Habis..."
"Memangnya tidak ada cara lain untuk menghubungiku?! Aku hampir gila memikirkanmu ada dimana!! Apa kau pikir aku tidak mencemaskanmu??? Kau tahu aku hampir melaporkan kehilanganmu ke kantor polisi!!!"
"Woojin, sudahlah, toh dia sudah pulang dengan selamat." Jinyoung menyela, berusaha lagi meredakan kemarahan Woojin.
Dengan tajam Woojin menoleh kepada sahabatnya itu,
"Cukup Jinyoung, kau boleh pulang, terima kasih sudah menemaniku tadi."
Jinyoung hanya mengangkat bahu menghadapi pengusiran halus itu, dia menepuk-nepuk kemejanya yang juga kusut, lalu melangkah keluar pintu.
"Kau harus menenangkan otakmu, kalau kau seperti ini, makin lama aku makin tidak mengenalmu."
Kata-kata Jinyoung ditujukan kepada Woojin, tapi matanya menatap tajam ke arah Hyungseob, menyalahkan.
“Dan kau, Tuan Putri.. lain kali belajarlah sedikit bertanggung jawab!" Sambungnya dingin sebelum melangkah keluar dan menutup pintu di belakangnya.
Ruangan itu menjadi begitu hening sepeninggal Jinyoung.
Woojin diam.
Dan Hyungseob juga diam, menilai emosi Woojin. Takut salah berbicara atau bertindak yang mungkin bisa menyulut emosi Woojin semakin parah.
Setelah mengamati dengan hati-hati, Hyungseob menarik kesimpulan kalau kemarahan Woojin sudah mulai mereda, matanya sudah tidak menyala lagi seperti api, dan napasnya sudah teratur. Hanya tatapan tajam dan bibirnya yang menipis itu yang menunjukkan masih ada sisa kemarahan di sana.
"Maafkan aku.." Bisik Hyungseob pelan, takut-takut.
Sejenak Woojin tampak akan mendampratnya lagi, tetapi lelaki itu menarik napas panjang, berusaha menahan diri.
"Sudahlah." Gumamnya sambil melangkah melewati Hyungseob memasuki kamar.
Dengan gugup Hyungseob berusaha mengejar langkah Woojin yang begitu cepat.
"Maafkan aku, aku tidak berpikir kau akan secemas itu." Tersengal Hyungseob berusaha menjajari langkah Woojin menuju kamar.
"Aku... aku terlalu terfokus pada operasi temanku lalu aku... Woojin!!" Hyungseob setengah berseru karena lelaki itu berjalan terus tanpa memperhatikannya.
Woojin berhenti melangkah, menatap Hyungseob, tampak begitu dingin. "Yang penting kau sudah pulang dengan selamat." Jawabnya datar.
"Woojin.....?"
Hyungseob merasa ragu mendengar nada dingin di dalam suara Woojin.
"Sudah! Aku mau tidur!” Geram Woojin marah sambil melangkah ke arah ranjang.
[TBC]
KAMU SEDANG MEMBACA
Romantic Illusion • Jinseob
FanfictionA Romantic Story About Serena (Jinseob Ver) Dalam hidupnya, impian Hyungseob hanyalah ingin menjadi seseorang yang biasa-biasa saja. Dia ingin menikah dengan Guanlinㅡkekasihnya, membentuk keluarga kecil yang bahagia, lalu seperti akhir kisah klise l...