"Jadi, kau mau menjelaskan tentang apa yang pernah kau alami. Misalnya, sebutkan saja apa rasa takut terbesarmu?"
Alexa menghela nafas. Ia memandang wajah dokter di hadapannya dengan tatapan datar. Alexa terlihat sangat-sangat tidak tertarik menjalankan pemeriksaan medis ini.
"Aku tidak mempunyai ketakutan terbesar." Jawabnya berdusta. Alexa tahu dirinya takut akan sesuatu.
Dokter James memajukan tubuhnya dan bersimpuh menggunakan kedua sikut di atas meja kerja. "Kau yakin? Lalu, di file mengatakan kau punya masalah kesulitan dalam proses tidur." Dokter James membuka file yang berisi data kesehatan fisik serta jiwa Alexa dan membacanya kembali. "Insomnia berlebihan, sulit untuk berinteraksi. Pasti ada sesuatu yang membuatmu menjadi seperti ini. Sekali lagi aku bertanya, Nona Cortinus. Apa ketakutan terbesarmu?" Dokter James menatap Alexa dengan tatapan sangat mengintimidasi.
Alexa memandang ke arah lain. "Aku sering melihat bayangan hitam. Aku tidak takut, tapi bayangan itu membuatku tidak bisa tidur. Dia membawa mimpi buruk." Jelas Alexa singkat dengan nada bicara yang sangat datar.
Dokter James terdiam. Lalu, ia mencatat apa yang diberitahukan oleh Alexa dan menganggap itu adalah sebuah petunjuk yang menguatkan bahwa Alexa memiliki kelainan.
"Makan obat ini di sini, Nona Cortinus." Kata Dokter James sembari menyodorkan sebuah gelas takaran berukuran kecil berisi empat buah obat berupa tablet dan kapsul dengan ukuran yang berbeda-beda.
Alexa melipat kedua lengannya di depan dada. Tatapan dinginnya memandang ke arah gelas obat tersebut. Cukup lama ia memandang gelas obat itu, sampai akhirnya mengalihkan pandangannya ke arah dokter James. "Aku tidak sakit." Alexa mendorong kembali gelas obat itu perlahan.
Dokter James menghela nafas. "Di lihat dari pernyataanmu, kau mengalami depresi dan halusinasi. Aku memberikan obat ini agar kau mau meminumnya untuk kesembuhanmu setelah itu aku akan memberikan obat yang harus kau minum tiga kali sehari, Nona Cortinus." Jelas Dokter James dengan penuh kesabaran.
Alexa menggelengkan kepala. Wajah datarnya mendukung apa pun jawaban yang keluar dari mulutnya, "aku tidak mau. Terima kasih, dokter." Alexa menyampirkan tas ranselnya dan langsung bangkit menuju ke luar tanpa mau menolehkan kepala ke belakang lagi.
Menurut Alexa, itu hanya membuang-buang waktu saja.
<>
"Nick, Lori!"
"Tidak!"
"ALEXA!"
Alexa terbangun dengan nafas memburu. Keringat mengalir membasahi wajahnya. Rambutnya berantakan dengan kedua mata yang terbelalak lebar. Jantungnya berdegup kencang ketika mimpi buruk itu datang lagi. Kebakaran yang selalu membuat Alexa di balut rasa bersalah. Mimpi yang sama setelah kejadian yang menimpa Lori dan Nick. Namun, bedanya kali ini ada terdengar jeritan ayah dan ibunya. Itulah yang membuat Alexa benar-benar ketakutan.
Ia memandang ke penjuru kamar tidurnya. Bayangan hitam itu berdiri di pojok ruangan masih dalam bentuk gulungan asap hitam berkeredep mengeluarkan cahaya putih. Alexa melipat kedua kakinya dan merapatkannya di dada. Gadis itu berusaha untuk mengatur nafas dan mengubur wajahnya di antara dua lutut yang berhimpitan. Ia sangat takut.
Bunyi desiran dan bisikan aneh ada dimana-mana. Setiap kali ia terbangun akibat mimpi buruk, pasti bayangan hitam itu senantiasa memunculkan dirinya di pojokan ruangan. Dan ketika Alexa kembali mengangkat wajah untuk menatap ke arah gumpalan asap hitam itu--asap tersebut sudah berubah menjadi sebuah sosok bayangan hitam.
Bayangan hitam itu mirip seperti seseorang yang menggunakan jubah hitam tanpa memperlihatkan wajahnya.
"Kenapa kau selalu ada..." Alexa terisak. Ia kembali menguburkan wajahnya di antara kedua lutut. Tubuhnya bergetar hebat. Dia tak mampu mengendalikan gerak tubuhnya sendiri.
"Mati."
"Tidak!" Alexa berbisik dan menutup telinganya menggunakan kedua tangan tanpa mau menatap sosok bayangan itu. Bayangan tersebut membisikkan satu kata yang sangat mengerikan.
Hingga akhirnya bunyi-bunyi mengerikan itu lenyap. Semua kembali sunyi. Suasana menjadi lebih terkendali ketika sosok itu menghilang secara tiba-tiba.
Perlahan tapi pasti, dengan kedua tangan yang bergetar, Alexa mengangkat wajahnya untuk kembali memandang ke arah sosok tadi berada. Sosok itu menghilang. Ini tidak pantas untuk disebut berakhir, karena sosok itu akan kembali jika Alexa tertidur.
Alexa mengusap air mata yang membasahi pipinya, kemudian bangkit mengambil sebuah kardigan tipis berwarna krem di dalam lemari. Setelah itu ia mengenakannya dan berjalan ke luar kamar. Dia baru menyadari bahwa sepanjang koridor di depan kamar tidurnya itu gelap. Tidak gelap gulita, hanya diterangi oleh cahaya remang milik sang rembulan yang menembus kaca jendela.
Alexa merapatkan kardigannya. Suhunya sangat dingin di luar sini, berbeda dengan di dalam kamarnya yang hangat. Tapi, sampai pagi tiba, Alexa enggan untuk masuk kembali ke dalam kamar tidurnya. Dan itu pertanda bahwa malam ini ia harus terjaga lagi.
Alexa melangkahkan kakinya perlahan. Dia berjalan sangat pelan bukan agar tidak diketahui orang lain, akan tetapi ia hanya ingin semuanya berjalan lambat pada saat ini. Hatinya merasa tidak enak seolah akan terjadi sesuatu yang buruk menimpanya. Perasaan ini kerap kali datang setelah mimpi buruk yang dibawa oleh bayangan hitam itu. Alexa tidak bisa melawannya.
Alexa menuruni tangga spiral besar yang akan membawanya ke lobby. Namun, ia mengurungkan niatnya turun ke lobby saat pandangannya menatap sebuah tangga spiral lain yang mengarah ke atas. Dia belum pernah ke lantai atas. Mrs. Morrier bilang saat memperkenalkan beberapa tempat penting di dalam gedung ini, di lantai atas sana merupakan lantai khusus remaja yang kecanduan narkoba. Jadi, Alexa tetap ingin naik ke atas sana.
Setibanya di lantai atas, Alexa berbelok ke kiri dan berhenti. Dari kejauhan, Alexa bisa melihat sebuah pintu balkon terbuka lebar. Suhu dingin itu ternyata datang dari sini, karena pintu balkon terbuka lebar memperlihatkan seorang lelaki berdiri di pinggiran balkon.
Alexa mengernyit, laki-laki itu mengeluarkan asap lewat mulutnya. Tangan kanannya memegang sepuntung rokok menyala yang ia hirup dan hembuskan asapnya berkali-kali.
Di luar sana masih hujan rintik-rintik. Terlihat sangat jelas lelaki itu diterpa oleh sinar rembulan yang redup. Angin lembut meniup beberapa helai rambut pirangnya yang di kuncir.
Alexa melangkah mendekat. Ia penasaran dengan lelaki itu. Apa dia berasal dari lantai ini? Atau mungkin dari lantai bawah di dekat lobby.
"Tidak perlu mengendap-endap."
Ujar lelaki itu melirik Alexa lewat pundak kanannya.Alexa berhenti beberapa langkah di belakang lelaki itu. Lelaki itu menyunggingkan sebuah senyuman, kemudian kembali menatap ke depan sembari menghirup rokoknya lagi.
"Kau berasal dari lantai ini? Ah, kau si anak baru." Ujarnya pelan. "Aku lupa." Lanjutnya lagi.
Alexa merapatkan kembali kardigannya. Ia tidak melihat ujung puntung rokok yang dipegang oleh lelaki itu padam, padahal angin bertiup cukup kencang ditambah lagi ada butiran-butiran air yang menerjang.
"Siapa namamu? Kita belum berkenalan." Lelaki itu kembali berucap karena merasa tidak ada respon dari Alexa.
Alexa sedikit terkejut ketika sadar bahwa butiran hujan tidak menerpa tubuh lelaki itu seolah tertahan sesuatu.
Alexa pun memilih untuk tidak mau tahu lebih dalam lagi. Karena ia berpikir, mungkin ini adalah efek dari bangun tidur akibat mimpi buruk, jadi terlalu banyak halusinasi.
Alhasil, Alexa berbalik dan hendak melangkah. Tapi, suara lelaki itu kembali menahan langkahnya.
"Jangan pergi."
<{}>
KAMU SEDANG MEMBACA
All Blood
FantasyKehidupan Alexa sudah tidak normal sejak ia lahir ke dunia ini. Dia memiliki sebuah 'kelainan' yang sulit di ungkap dan di kendalikan oleh siapapun. 'Kelainan' yang dimilikinya itu di anggap sebagai penyakit yang dideritanya sejak lahir ke dunia ini...