Chapt. 21

1.2K 121 6
                                    

Angin berhenti bertiup tepat di depan perbatasan jalan raya dengan jalanan biasa yang masih tertutup tanah kering. Tidak ada rumput yang hidup di daerah tersebut. Pepohonan pun tidak rimbun dengan dedaunan kering yang berguguran. Batang pohon yang kering itu membengkok dan menghitam layaknya kakek tua jangkung yang menyeramkan. Pepohonan kering itu mengingatkan Alexa pada tanah tempat Ordo Axe and Sword yang pernah ia tinggali.

Kendaraan hanya bisa sampai di perbatasan jalanan tak beraspal. Sisanya, mereka harus jalan bersama-sama melewati daerah kelam itu. Dari kejauhan bisa di lihat awan kelabu yang nyaris menghitam dan menutupi matahari itu berada tepat di dekat gunung tertinggi.

Daerah tersebut seperti tidak pernah di injak oleh makhluk hidup. Sangat sunyi. Hanya ada suara kresek yang berasal dari sepatu bot yang menginjak dedaunan kering. Bersyukurlah tidak ada semak-semak berduri menyeramkan yang menghalangi jalan mereka.

Will berdiri paling depan, di belakangnya ada Brian, kemudian Kevin yang merangkul Alexa--membantu gadis itu berjalan, lalu terakhir ada Luna serta Dylan yang berjalan bersisian menutup barisan paling belakang. Mereka semua memasang telinga dan mata untuk meninjau lingkungan sekitar mereka. Semakin dalam mereka mengarungi daerah kelam nan gersang itu, semakin berubah pula atmosfer yang mereka rasakan. Semakin dingin layaknya berada di musim dingin.

Alexa merapatkan jaketnya sembari menahan rasa sakit yang tak kunjung menghilang dan semakin parah. Alexa masih bersyukur dirinya mampu berjalan meski Kevin menuntunnya. Alexa nyaris menggigil dan menggigit bibir bawahnya keras-keras hingga tak terasa berdenyut.

Luna menghembuskan nafas singkat. Gadis itu mengusap kedua lengan atasnya sembari mengedarkan pandangan yang ceria layaknya anak umur lima tahun sedang bertamasya, "dingin sekali, ya? Cuacanya lumayan buruk." Gumamnya pelan bermaksud untuk menyemangati dirinya sendiri, tetapi sepertinya gagal.

Gunung batu rendah tak terlihat lagi. Kini yang menjadi pusat dari segalanya adalah gunung batu tertinggi yang jaraknya tinggal beberapa langkah lagi dari keberadaan mereka.

Will memicingkan mata dan tiba-tiba berhenti melangkah. Brian mengerutkan dahi sembari menatap wajah Will yang mendadak terlihat tegang akibat waspada.

"Ada apa, kawan?" Tanya Brian.

Will menempelkan jari telunjuknya ke bibir sebagai isyarat untuk diam.

Will mengambil sebuah batu berukuran sedang yang tergeletak di samping kaki kanannya, kemudian melempar batu tersebut ke depan. Tepat setelah batu itu mendarat, sebuah jebakan berupa jaring perangkap hewan ataupun mangsa mulai bekerja. Sebuah tali tertarik ke atas di setiap sudut jaring bertali tebal tersebut. Alhasil jaring itu hanya mengangkut tumpukan daun kering yang menutupi jebakan.

Brian, Kevin, Alexa, Luna, dan Dylan ternganga menatap jebakan yang nyaris melukai mereka, jika saja Will tidak menyadarinya.

"Para penyihir memasang perangkap," ujar Kevin. "Tapi, untuk apa?"

Will menoleh ke belakang lewat pundak kanannya, "untuk mencari sesuatu yang hidup."

Dylan bergidik ngeri sembari menunjukkan tatapan menerawang ke sekitar, "sepertinya mereka kehabisan sesuatu yang hidup di dalam tempat ini."

"Sebaiknya kita melanjutkan perjalanan," kata Will sembari melangkah perlahan melintasi perangkap yang sekarang sedang bergelantungan di atas kepalanya. "Perhatikan langkahmu. Jangan sampai tertipu oleh pandangan."

"Bagaimana dengan penyihir putih yang kau katakan itu, Kevin?" Kata Dylan.

"Oh, ya. Namanya Mina," jawab Kevin.

Brian menoleh ke belakang lewat pundak kirinya, "lalu, di mana rumahnya?"

Kevin mengibaskan tangan kirinya yang sedang tidak memegangi Alexa sembari tergelak pelan, "dia tidak tinggal di rumah. Dia tinggal di suatu tempat yang harus kita cari. Mana mungkin penyihir putih mau tinggal di sarang penyihir hitam."

All BloodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang