Di malam hari yang gelap, Alexa berusaha untuk tetap terjaga, karena menahan rasa sakit yang ada di dalam tubuhnya. Sesekali ia meremas sprai yang membalut kasur semata-mata hanya untuk menahan rasa sakit yang amat-sangat kentara setiap kali ia bergerak.
Dan untuk memecah keheningan sekaligus mengabaikan rasa sakit, Alexa memutuskan agar memulai pembicaraan di antara dirinya dengan Luna. Terlalu banyak hal yang sulit sekali untuk dicerna saat ini oleh Alexa.
"Luna."
Luna yang tadinya sedang membaca buku sembari duduk di kursi tepat di samping kasur Alexa pun segera menoleh dan menutup bukunya. "Ya, Alexa? Kau membutuhkan sesuatu?"
Alexa tersenyum kecil dan menggeleng perlahan. Dia bisa merasakan rasa sakit itu mengalir dalam darahnya dan bergerak ke seluruh tubuhnya. "Bisakah kau ceritakan apa yang sedang terjadi? Mengapa kau ada di sini bersama Kevin?"
Dylan yang sedang berdiri di samping jendela yang terbuka lebar itu pun segera menoleh ketika sadar ada percakapan di antara Luna dan Alexa. Kedua lengannya terlipat di dada sembari menikmati angin lembut menerpa wajahnya.
Luna tersenyum. Dia menghela nafas pendek sebelum memulai cerita. "Kevin adalah sahabatku. Dan aku bukanlah gadis biasa yang sengaja mendaftar sekolah di Ordo Axe and Sword. Aku di tugaskan untuk menemanimu selama di sana."
Alexa menaikkan kedua alisnya. Di balik bibir pucatnya, ia kembali tersenyum. Di dalam hati, ia masih tidak percaya dengan semua yang terjadi kepada dirinya setelah kejadian beberapa jam yang lalu.
"Lalu, apa yang terjadi pada mereka yang ada di sekolah? Aku melihat mereka seperti patung. Berdiri dalam keheningan sembari menunduk..." jika saat ini tubuhnya tak terasa sakit saat di gerakkan, mungkin Alexa sudah bergidik ngeri membayangkan kesunyian yang ia alami kemarin malam.
"Aku juga tidak tahu apa yang terjadi kepada mereka, Alexa. Biarlah Kevin yang mencari tahu tentang apa yang telah terjadi kepadamu dan mereka semua."
Alexa menghela nafas panjang. Kemudian, ketika indera pendengarannya menangkap suara yang di timbulkan dari ombak laut kecil menghantam batu-batu di bawah sana, Alexa sangat ingin bangun dari tempat tidur untuk melihat pemandangan indah tersebut.
Alexa menatap Luna, kemudian berkata, "bolehkan aku meminta tolong, Luna?"
Luna mengangguk cepat, "kau membutuhkan apa?"
Alexa berusaha mengulas senyum yang menunjukkan bahwa dirinya tidak lemah. Tetapi, bagaimanapun juga, Luna tahu apa yang saat ini Alexa rasakan.
"Aku ingin duduk di dekat jendela. Aku ingin melihat pemandangan yang ada di luar sana."
Luna mengerjap, kemudian membantu Alexa untuk bangkit dari tempat tidur. Luna memanggil Dylan untuk membantu gadis itu menopang tubuh Alexa yang semakin lemah. Untuk sesekali Alexa meringis kesakitan saat merasakan rasa sakit yang kerap kali datang tiap anggota tubuhnya bergerak.
"Perlahan..." ujar Luna kepada Dylan yang merengkuh pinggang Alexa.
Saat bokong Alexa mendarat tepat di kursi, gadis itu menghembuskan nafas panjang dan lega. Perlahan, tapi pasti, Luna membantunya untuk menyenderkan punggungnya agar terasa lebih rileks. Alexa pun tidak menolak saat Luna menutupi tubuh bagian depannya menggunakan selimut tebal agar ia tak kedinginan akibat tiupan angin dari arah laut.
Alexa menghela nafas untuk yang kesekian kalinya. Dia bersyukur, karena masih bisa melihat bulan, laut, dan langit. Masih bisa merasakan tiupan angin serta aroma laut yang ia sukai sejak Kevin membawanya pertama kali ke tempat ini meski lewat kilasan mimpi.
Cahaya remang bulan purnama menerpa separuh wajah Alexa. Luna dapat melihat dengan sangat jelas mata kelabu Alexa yang terlihat bercahaya di terpa sinar bulan tersebut. Sangat indah. Alexa pun tersenyum kecil, karena dapat menikmati pemandangan seindah ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
All Blood
FantasyKehidupan Alexa sudah tidak normal sejak ia lahir ke dunia ini. Dia memiliki sebuah 'kelainan' yang sulit di ungkap dan di kendalikan oleh siapapun. 'Kelainan' yang dimilikinya itu di anggap sebagai penyakit yang dideritanya sejak lahir ke dunia ini...