Chapt. 26

1K 106 5
                                    

"Di mana aku?"

Alexa merasakan tubuhnya tak lagi terasa sakit. Justru gadis itu merasa tubuhnya sudah sembuh dan normal seperti sedia kala. Alexa berdiri di tengah-tengah lahan kosong yang di penuhi oleh tumpukan salju seperti lapangan dan di kelilingi pohon pinus. Salju turun menumpuk di sekitar pijakan kaki Alexa.

Alexa mengernyit. Dia membuka telapak tangan kanannya dan bisa merasakan salju dingin terasa menyengat saat mendarat di telapak tangannya.

"Apa ini nyata?" Alexa bergumam pelan. Ada percikan rasa senang ketika tahu dirinya bisa merasakan musim salju lagi.

Gadis itu mulai memutar tubuhnya menatap ke sekeliling, namun tepat di akhir putaran, Alexa tertegun. Alexa mematung dan membeku seolah salju yang turun ini telah membekukan tubuhnya. Angin musim dingin mulai terasa bertiup ke arahnya yang tak menggunakan pakaian musim dingin. Alexa menggigil terlebih lagi ketika pandangan matanya menangkap siluet hitam seseorang dari kejauhan di tengah-tengah salju yang tertiup angin.

Siluet itu semakin lama semakin terlihat sangat jelas. Dan semakin dekat hingga akhirnya siluet tersebut terpisah menjadi dua dengan bentuk yang berbeda.

Alexa meneguk salivanya, "Nick? Lori?" Tenggorokannya mendadak terasa kering seperti gurun sahara. Cuaca dan tubuhnya sama sekali tidak bekerja sama.

Alexa mengernyit. Nick dan Lori ada di hadapannya. Wujud mereka berdua semakin terlihat jelas dan mengetuk pintu hati Alexa agar terbuka, kemudian mengeluarkan segala isinya. Memori-memori kebahagiaan yang ia lewati bersama Nick dan Lori sangat menyayat hati. Mereka telah tiada, tetapi mengapa sekarang ada di hadapannya.

"Kalian ..."

"Hai, Alex." Lori berucap memanggil Alexa dengan sebutan 'Alex'.

Nick tersenyum dan melambaikan tangan kanannya. Lesung pipi di sebelah kanan milik Nick masih terlihat sama seperti terakhir kali Alexa melihatnya.

Apa ini mimpi?

Jika ini adalah mimpi, maka ...

"Ini tidak nyata," Alexa menggelengkan kepalanya perlahan. Dia mau keluar dari mimpi ini. Mimpi ini bukanlah mimpi yang tercipta dari alam bawah sadarnya. Alexa yakin akan hal itu.

Nick berusaha menenangkan Alexa dengan melangkah maju lebih dekat dengannya, "Alexa, ini nyata. Kami di sini."

Lori tersenyum dan mengangguki, "bersamamu. Hanya kita bertiga di sini."

Alexa akhirnya tak mampu menahan air mata yang keluar meloloskan diri begitu saja dari pelupuk matanya. Terasa sangat sesak dan menyakitkan di dada.

"Aku..." Alexa terbata, dia menahan isakan tangisnya, "...aku tidak ingin kebohongan seperti ini. Tolong jangan mempermainkan diriku. Hentikan ini!" Alexa benar-benar memohon. Ia menangis tersedu-sedu dan akhirnya terjatuh--berakhir dengan berlutut di atas tumpukan salju di bawah kakinya.

Alexa menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

"Kau membunuh kami, Alex."

Mendadak suara Nick berubah menjadi berat dan penuh amarah.

"Ya, kau membunuh kami. Seandainya kita tidak di takdirkan menjadi saudara--"

"Cukup... aku mohon, hentikan." Lirih Alexa sembari menutup kedua telinganya erat-erat. Tak ingin mendengar suara-suara tuduhan yang tertuju pada dirinya.

"Kau membunuh kami!"

"Ini semua karena kau. Kami mati, karena dirimu!"

Alexa mengeratkan pejaman kedua matanya dan menekan kedua telinganya, namun suara-suara itu semakin banyak dan perlahan-lahan merusak mental serta akal sehatnya. Ini semua membuatnya gila.

All BloodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang