Chapt. 16

1.8K 167 8
                                    

Di bawah cahaya remang lentera, Kevin membaca sebuah buku yang mungkin terdapat peta atau petunjuk dimana keberadaan sang ibu. Kevin melakukan ini semua, karena hanya ibunya lah yang mampu mematahkan mantra miliknya ataupun Sorensen. Ibunya pergi untuk mencari kehidupan sendiri dan melupakan jati dirinya serta meninggalkan Kevin di rumahnya sendiri.

Kevin duduk dengan nyaman di hadapan perapian. Dia mengambil salah satu buku paling tebal milik sang ibu, kemudian membacanya dengan bantuan cahaya lentera. Kehangatan yang di berikan oleh perapian membuat Kevin dengan mudahnya mendapatkan konsentrasi.

Di tempat ini, tempat yang hampir sama seperti sebuah surga dengan rumah yang megah dan bergaya klasik. Kevin hanya tinggal bersama empat orang sahabatnya. Luna, Dylan, Brian, dan Will. Mereka berlima sudah bersahabat sejak lama dan akhirnya menjadi sebuah tim yang sudah seperti sebuah keluarga bagi Kevin.

Kevin baru menyadari kalau ternyata Sorensen lebih tahu tentang Alexa ketimbang dirinya. Dia bahkan tak tahu kalau Ordo Axe and Sword berada di bawah pimpinan Sorensen. Semua orang yang ada di dalam sana adalah orang-orang pendosa dan hilang akal yang akhirnya menjadi pengikut setia Sorensen. Seharusnya Kevin tahu semua itu sejak awal. Berada di dunia buatan Sorensen adalah mala petaka bagi dirinya dan Alexa.

Saat ini pun Kevin masih bingung bagaimana cara membedakan dunia asli dengan yang di ciptakan oleh Sorensen. Terlihat sangat nyata dan mampu membuat siapa pun berpikir kalau itu hanyalah mimpi.

Seharusnya Kevin tidak menganggap remeh kekuatan saudaranya padahal dirinya sudah di kalahkan sebanyak tiga kali. Tapi, semakin lama Kevin semakin sulit merasakan keberadaan Sorensen. Di tambah lagi Alexa yang tidak mengetahui bahwa Sorensen mampu mengubah-ubah bentuk dirinya. Tetapi, bagaimanapun juga, Kevin tahu seperti apa wujud asli Sorensen.

Kevin terpejam untuk sejenak. Dia beranjak dari tempat dimana ia duduk, kemudian beralih ke arah cermin persegi yang terpajang di dinding. Kevin awalnya enggan menatap dirinya lewat cermin, karena ia benci melihat wajahnya yang kembar dengan Sorensen. Melihat wajahnya sendiri, Kevin muak. Dirinya kembali terbayang-bayang senyuman ganjil khas milik saudaranya setiap kali ia di kalahkan.

Tak di ragukan lagi. Detik selanjutnya Kevin memukul kaca cermin yang ada di hadapannya hingga pecah menjadi berkeping-keping. Kevin mengepalkan kedua tangannya erat-erat kemudian menghembuskan nafas panjang. Dia tahu, di saat seperti ini, dirinya tidak boleh dikuasai oleh emosi. Ada Alexa di sisi nya. Dia harus kuat melawan tekanan apa pun yang akan Sorensen berikan.

Cairan kental berwarna merah menetes dari buku-buku jari tangan Kevin yang terkena serpihan kaca. Dengan santainya lelaki itu menyingkirkan sisa serpihan kaca yang menempel di buku tangannya meski terasa perih. Inilah yang membuat dirinya semakin lemah setiap harinya.

Keabadian tidak berpihak kepadanya lagi.

"Kevin?"

Perlahan-lahan Kevin berbalik untuk melihat siapa yang datang. Suaranya terdengar tidak asing.

Kevin menghela nafas dan mencoba untuk tersenyum melihat sosok lelaki bertubuh tegap dan tentunya lebih besar dari tubuh Kevin. Rambutnya cepak berwarna hitam pekat dengan kulit sawo matang. Lelaki itu memiliki senyum yang cemerlang.

"Brian. Kawanku. Kau sudah kembali dari menjelajah bersama Will?" Kevin menghampiri Brian dan memeluknya layaknya seorang sahabat sesama lelaki.

All BloodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang