Malam itu rasanya matahari terlalu lama untuk kembali terbit. Rasanya cahaya tidak bisa bermuara lagi di langit dan memancarkan sinarnya menutupi segala kegelapan. Entah mengapa malam begitu terasa lambat dan pagi terasa sangat cepat. Kekuatan di malam hari semakin kuat ketimbang apa yang dapat di kendalikan ketika cahaya kembali menerangi bumi.
Terjebak dalam situasi mengerikan seperti ini perlahan-lahan menyedot kehidupan Alexa. Gadis itu masih terperangkap, menunggu, menimbang keputusan yang takut ia ambil demi keselamatan dirinya sendiri. Sementara tatapan Sorensen terlihat sangat menuntut jawaban darinya.
"Jika kau tidak menjawabku dalam waktu lima menit ke depan, maka jangan salahkan aku kalau kau kembali tersakiti di dalam sini." Ucap Sorensen yang kini telah mengubah musim gugur kembali ke musim salju.
Di menit pertama, Alexa bisa merasakan suhu di sekelilingnya menjadi semakin rendah. Itu tandanya semakin dingin dan nyaris mencapai tulang. Membekukan kulit dan membuat otaknya lebih susah berpikir dari sebelumnya.
Sorensen yang melihat itu hanya bisa tersenyum miring memperlihatkan gigi-giginya. Ada rasa kesenangan tersendiri melihat gadis di hadapannya tersakiti untuk yang kesekian kalinya.
"Sorensen," bisik Alexa. "Tidakkah kau merasa rindu dengan saudara dan ibumu?" Tanya Alexa pelan. Tanpa bermaksud menyinggung sedikitpun, tapi rupanya Sorensen merasa tersinggung dengan ungkapan Alexa.
Sorensen mendengus. Sedetik kemudian ia mencengkeram erat rahang Alexa. Tatapan Sorensen menatap tajam ke arah gadis itu. "Siapa kau berani-beraninya bertanya seperti itu, huh?!" Desis Sorensen penuh amarah yang tertahankan, "kau tidak berhak menanyakan itu! Karena aku sama sekali tidak punya hati dan belas kasihan terhadap makhluk apa pun!" Bentak Sorensen.
"Sorensen!"
Sorensen terenyak begitu mendengar suara seseorang dari dalam pikirannya. Matanya teralihkan ke arah lain--mencari keberadaan suara tersebut yang rasanya tak hanya berada di dalam pikirannya tetapi ada di sekitarnya juga.
"Lepaskan dia!"
Sorensen refleks melepas cengkeramannya pada rahang Alexa, kemudian berdiri dan mengepalkan kedua tangannya erat. Sial. Sorensen benar-benar marah sekarang. Karena, rupanya Elena sudah kembali dan hendak menyelamatkan gadis lemah tak berdaya di hadapannya saat ini.
Detik berikutnya benar saja, Alexa yang berwajah pucat hendak mati itu mendadak segar. Nafasnya kembali normal. Pertama, racun yang di tanamkan oleh Sorensen berhasil dicabut oleh Elena. Hal itu membuat Sorensen geram dan hendak menarik lengan Alexa, namun sebuah portal bercahaya terbuka lebar tepat di belakang gadis tersebut.
Sorensen mengerang akibat silau. Tubuhnya terpental ke belakang begitu cahaya tersebut berkedut dan mengeluarkan sesuatu seperti angin, namun bertiup secara spontan dan kuat. Di saat itu pula Alexa tersedot ke dalam portal cahaya tersebut.
Sorensen benar-benar murka. Dia berteriak marah dan untuk yang kesekian kalinya kembali gagal. Tapi, dia mendapatkan sesuatu yang lebih berharga. Dengan begitu, maka Sorensen tahu dimana lokasi mereka saat ini. Sorensen akan mencari dan memburu mereka hingga dapat meski membutuhkan waktu yang cukup lama.
~<>~
"Bagaimana? Apa kau berhasil menyelamatkannya?" Tanya Will saat melihat Elena benar-benar serius mengucapkan mantra di hadapan tubuh Alexa yang kini terbaring di atas batu dengan permukaan yang datar.
Elena masih berusaha dengan keadaan yang sangat tenang.Dalam hitungan lima detik, Alexa terbangun sembari terbatuk-batuk. Elena dan Luna bersama-sama membantu memiringkan tubuh gadis itu agar lebih mudah mengeluarkan cairan hitam dari dalam mulutnya yang merupakan racun.
Elena tersenyum lembut sembari mengelus punggung Alexa, "keluarkan terus, nak. Kau baik-baik saja sekarang. Racunnya berhasil ku keluarkan."
Luna tersenyum kepada Elena seraya menyingkirkan rambut Alexa dari wajahnya. Tak menyangka akan melihat wujud seorang malaikat asli dengan darah penyihir di dalamnya berada di hadapannya saat ini.
Will, Brian, dan Dylan bisa bernafas lega sekarang. Mereka saling melempar senyuman. Andai saja Kevin tersadar saat ini, mungkin dia juga akan merasakan hal yang sama.
"Apakah aman kalau kita berada di gua ini terlalu lama?" Tanya Dylan sembari melihat-lihat ke belakang.
Elena mengangguk. "Sebenarnya aman. Tidak ada yang perlu kau takutkan. Kita sudah berada di bagian gua yang paling aman."
Bagian gua yang paling aman yang di maksud Elena adalah sebuah ruangan batu yang berada tepat di dasar gua. Ruangan tersebut berbentuk lingkaran luas dengan langit-langit yang tentu saja terbuat dari bebatuan tebal dan beberapa ada yang runcing--mirip seperti gua tempat tinggal kelelawar. Tetapi, bedanya tempat ini lebih harum dan sejuk. Tidak lembab. Mungkin itu efek dari lilin-lilin yang Elena letakkan di setiap sudut ruangan tersebut. Di tambah lagi ada dua batu dengan permukaan datar sebagai alas berbaring. Kemudian, ada selimut dan peralatan sederhana untuk menciptakan ramuan sederhana pula.
"Elena, bagaimana dengan peramal yang berada di tempat ini? Bukankah dia berbahaya?" Tanya Brian.
Elena menghela nafas. Wanita itu berjalan untuk mengambil tiga lilin di tangannya yang ia susun di samping Alexa. "Aku tidak pernah melihat peramal itu. Tapi, aku tahu dia ada di sini. Dan sebelumnya tak pernah kutemui keberadaan peramal tersebut. Mungkin dia ada di bagian tersembunyi dalam gua ini. Menjaga gua ini agar tetap berada di kegelapan."
Luna mengusap bekas cairan hitam yang menempel di sekitar bibir Alexa. Sementara kepala gadis itu di letakkan di paha Luna. Elena memberikan sebuah mangkuk berisi ramuan kepada Alexa.
"Minum ini," ucap Elena pelan. "Jiwamu berada di dunia alam bawah sadar raga mu hampir dua puluh empat jam. Tubuhmu membutuhkan banyak tenaga."
Alexa mampu membuka kedua matanya perlahan seusai menengak ramuan tersebut. Awalnya buram. Tapi, lama-kelamaan semuanya kembali terlihat. Orang pertama yang ia lihat adalah Elena. Alexa sempat kebingungan, namun dia melihat wajah Will yang datar, Dylan, dan Brian yang melambaikan tangan sembari tersenyum melihat Alexa kembali tersadar. Dan yang terakhir Luna. Luna menunjukkan senyuman lega dan tulus kepada Alexa.
"Hai, apa kau merasa baik-baik saja sekarang?" Tanya Luna pelan.
Alexa berusaha mengulas senyuman tipis. Dia tak merasakan rasa sakit yang berjalan di dalam tubuhnya lagi. Alexa mengangguk samar.
Sampai akhirnya Alexa tersadar akan sesuatu.
"Kevin," Alexa tidak melihat keberadaan Kevin. Dan memutuskan untuk bangkit, tapi di tahan oleh Elena.
"Dia ada di sana," Elena menunjuk di samping kanan Alexa. Jarak batu tempatnya berbaring saat ini tak terlalu jauh dari jarak batu tempat Kevin berbaring--bertelanjang dada dalam posisi perutnya yang di perban.
Alexa berhenti. Alexa terdiam. Gadis itu tak menurut meski sudah di minta untuk berbaring kembali. Tapi, Alexa mendadak tuli, karena fokusnya semua tertuju pada Kevin.
Apa Kevin baik-baik saja?
"Apa yang..." Alexa menggantungkan ucapannya. Rasanya lama sekali tidak melihat wajah tampan itu dalam jarak sedekat itu. "Kevin," Alexa menahan nafas begitu merasa sesak di dalam dada.
Alexa langsung bangkit ketika semua orang terpaku pada dirinya yang sedang menatap Kevin tanpa gerak. Alexa berjalan tertatih meskipun sudah di larang oleh Elena dan Luna. Alexa sampai di batu tempat Kevin terbaring. Di saat itu pula Alexa meneteskan air mata sembari menggenggam tangan Kevin.
Elena mengusap bahu Alexa. "Dia baik-baik saja. Gabriel adalah lelaki yang kuat," sesak rasanya menyebut putra nya dengan sebutan 'lelaki' seolah Kevin sudah menjadi manusia biasa. Dulu Elena menyebutnya 'malaikat' karena hatinya yang kuat dan mulia mencerminkan sikap malaikat sebagai status kelahirannya. Tapi, sekarang, melihat sosok Kevin yang terbaring lemah seperti ini telah menghancurkan hati seorang ibu.
~~~<>~~~
KAMU SEDANG MEMBACA
All Blood
FantasyKehidupan Alexa sudah tidak normal sejak ia lahir ke dunia ini. Dia memiliki sebuah 'kelainan' yang sulit di ungkap dan di kendalikan oleh siapapun. 'Kelainan' yang dimilikinya itu di anggap sebagai penyakit yang dideritanya sejak lahir ke dunia ini...