Alexa berderap di tengah-tengah koridor yang sepi dengan suhu udara yang tak biasa. Nuansa kelam menghiasi koridor yang selalu ia lewati setiap hari jika hendak kembali ke kamar tidurnya. Gadis itu baru saja kembali dari perpustakaan ketika Dokter James memintanya untuk datang dan kembali melakukan terapi. Terapinya agak berbeda. Tapi, tetap saja, yang berbeda hanya tempatnya. Setidaknya Alexa tidak merasa terlalu tertekan berada di dalam ruangan perawatan Dokter James yang nyaris membuat matanya mengantuk tiap kali melihat warna putih mendominasi ruangan tersebut.
Alexa berhenti sejenak dari langkah kakinya ketika melewati satu jendela kaca besar yang mengekspos pemandangan taman belakang sekolah--tempat dirinya mengenal Kevin dan berbicara panjang dengannya. Diam-diam Alexa tersenyum. Kedua pipinya memanas setiap kali pikirannya berkelana memikirkan Kevin. Kevin benar-benar telah mengubah hidupnya yang monoton menjadi sedikit berwarna. Meskipun saat ini Alexa masih hidup di dalam ketakutan dan kegelapan.
Alexa masih tidak mau menutup mata di malam hari. Dia bahkan tidak mau tidur ataupun menutup matanya meski hanya sedetik. Alexa merasa takut, jika dia tertidur, maka mimpi-mimpi buruk itu kembali menghampirinya sampai menjadi sebuah kenyataan. Belum lagi sosok yang selalu ada di setiap kali mimpi itu berakhir.
Alexa menghembuskan nafas panjang. Berusaha untuk mengatur ritme jantungnya yang berdegup tidak karuan. Pikirannya kacau. Mood nya tadi meningkat, kemudian menurun drastis seperti terhempas dari ketinggian. Sungguh, Alexa merasa tidak kuat dengan segala kejadian yang telah terjadi.
Sebenarnya Alexa itu siapa? Atau lebih tepatnya, Alexa itu apa?
Alexa menyentuh kaca jendela di hadapannya. Gadis itu menyentuh tepat di refleksi pantulan dirinya pada kaca jendela tersebut. Mata kelabunya sedikit bercahaya di terpa pantulan remang cahaya bulan purnama. Langit kembali di padukan dengan warna kelabu kelam yang selalu saja mendominasi kota terpencil tersebut.
"Alexa?"
Alexa terperanjat ketika sebuah tangan besar nan asing menyentuh pundak kanannya. Gadis itu spontan berbalik dengan tatapan terkejut bukan main melihat siapa yang baru saja datang.
Dia lelaki yang selalu menunjukkan senyum misterius dan sangat dihindari oleh Alexa. Siapa lagi kalau bukan Ferdinand.
"Mau apa kau?" Tanya Alexa dengan nada sedikit sarkastik. Namun, pandangannya segera terarah ke dua gelas kopi yang berada di dalam genggaman Ferdinand.
Ferdinand menyodorkan segelas kopi itu kepada Alexa. "Untukmu. Aku tahu kau belum tidur."
Kopi? Alexa membatin.
Seketika itu pula Alexa kembali teringat saat dirinya masih tinggal di rumah. Alexa jarang sekali tidur dan selalu mengkonsumsi kopi hitam sebagai penawar kantuk. Dia terjaga setiap malam, setiap hari, dan terus seperti itu sampai akhirnya kedua matanya tak kuat lagi.
"Tapi, kenapa... kopi?" Alexa mendongak--kembali beralih menatap wajah Ferdinand.
Ferdinand menyunggingkan senyum tipis. "Aku hanya tahu. Kau membutuhkan kopi. Jangan tanya bagaimana bisa aku mengetahuinya."
"Apa ini kebetulan?"
Ferdinand menggelengkan kepalanya. "Ambillah dan minum. Aku tahu kau membutuhkannya."
Mau tak mau Alexa menerima segelas kopi yang di berikan oleh Ferdinand. Alexa memandangi gelas kopi itu tanpa henti sampai akhirnya suara Ferdinand kembali menyadarkannya. "Alexa, aku punya satu permintaan."
KAMU SEDANG MEMBACA
All Blood
FantasyKehidupan Alexa sudah tidak normal sejak ia lahir ke dunia ini. Dia memiliki sebuah 'kelainan' yang sulit di ungkap dan di kendalikan oleh siapapun. 'Kelainan' yang dimilikinya itu di anggap sebagai penyakit yang dideritanya sejak lahir ke dunia ini...